Ambiguitas Jokowi Terhadap Komitmen Transisi Energi

- 23 November 2021, 14:00 WIB
Presiden Joko Widodo.
Presiden Joko Widodo. /Foto: bppt.go.id



Pedoman Tangerang - Presiden Joko Widodo atau Jokowi dinilai ambigu terhadap komitmen transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan.

Kemarin, 22 November 2021, Jokowi menyampaikan pidato dalam gelaran The 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021. Dia mengatakan pemerintah tidak ingin transisi energi membebani rakyat dan keuangan negara.

Pernyataan yang disampaikan Jokowi itu berbanding terbalik dengan yang diutarakannya saat mengikuti konferensi tingkat tinggi perubahan iklim di Glasgow, beberapa waktu lalu.

Saat itu, Jokowi sesumbar menyatakan Indonesia siap melaksanakan program energi hijau. Tapi, sekarang Jokowi justru mengeluh kesulitan merealisasikan program tersebut.

Baca Juga: Energi Kita Masih Bergantung pada Batu Bara, Jokowi: Siapkan Transisi Energi!

"Sekarang terbukti, apa yang disampaikan Presiden di KTT perubahan iklim hanya pencitraan. Karena faktanya kita butuh waktu dan butuh dana yang besar untuk melakukan transisi teknologi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT)," kata Anggota Komisi Energi DPR RI, Mulyanto, kepada Pedoman Tangerang, Selasa 23 November 2021.

Terkait program energi hijau ini Mulyanto minta Pemerintah realistis. Jangan terlalu memaksakan diri dan menjadikan sebagai bahan pencitraan. Sebab proses alih teknologi energi fosil ke energi hijau membutuhkan dana yang sangat besar.

"Jika Pemerintah tidak berhati-hati dapat menimbulkan krisis energi seperti yang pernah dialami negara-negara maju bebetapa waktu lalu," katanya.

Mulyanto mendesak Pemerintah agar hati-hati dalam implementasi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang konon sangat green.

Baca Juga: Besarnya Potensi Sawit di Indonesia, BPDPKS Ajak Generasi Milenial Terlibat Pengembangan Energi Nabati Sawit

Jangan sampai Indonesia termakan oleh optimisme overdosis atau sekedar tebar pesona terhadap transisi energi ini. Sebab yang akan menjadi korban adalah tarif listrik yang menonjak atau beban subsidi yang meroket.

Pemerintah harus menyiapkan proses transisi energi itu secara bertahap dan prudent. Jangan terlalu ambisius tanpa dasar.

“Pemerintah memang harus meningkatkan bauran EBT (energi baru terbarukan). Apalagi isu energi hijau ini sudah menjadi agenda dunia. Namun pelaksanaannya harus cermat, agar biaya pokok pembangkitan (BPP) atau tarif listrik tidak ikut naik. Kalau ini terjadi, akibatnya rakyat juga yang jadi korban,” tegas Mulyanto.

Sesuai RUPTL 2021-2030, dimana porsi EBT akan mencapai 52 persen, maka BPP PLN akan naik dari Rp 1.423/ kWh pada tahun 2021 menjadi Rp1.689/kWh pada tahun 2025.

Baca Juga: Nicho Silalahi ke Presiden Jokowi: Demi Pengentasan Pengangguran China, Rakyat Sendiri Terusir

Beban tambahan untuk subsidi dan kompensasi akan membengkak dua kali lipat lebih, dari Rp 71.9 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 182.3 triliun pada tahun 2025.

"Apakah Pemerintah punya uang untuk menanggung beban ini? Jangan juga beban ini dialihkan ke rakyat, sehingga menghasilkan listrik yang mahal.

Sekarang saja tarif listrik pelanggan rumah tangga di Indonesia hampir dua kali lipat dari tarif listrik di Malaysia. Karena bagi masyarakat yang dibutuhkan adalah tarif listrik yang terjangkau. Bukan listrik bersih, tapi mahal," kata Mulyanto.

Baca Juga: Erick Thohir Optimis Indonesia bisa Kelola Energi Secara Mandiri

Mulyanto mendorong Pemerintah mengembangkan EBT di wilayah-wilayah defisit energi. Jangan mengembangkan EBT ini di wilayah surplus energi, seperti Jawa dan Sumatera. Ini akan mubazir dan menyebabkan biaya yang harus ditanggung oleh PLN semakin membengkak.

“Pemerintah jangan mau didikte oleh negara maju. Negara raksasa PLTU seperti China, India dan Amerika saja tidak berkomitmen untuk penghapusan PLTU ini," pungkasnya.

Editor: Muhammad Alfin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah