Ekonomi Terpuruk, Keluarga di Afghanistan Kembali Mengais Rezeki Lewat Karpet

12 Desember 2021, 11:30 WIB
Seorang laki-laki tengah memikul permadani yang dihasilkan dari kegiatan menenun, sebuah tradisi yang berlangsung lama di Afghanistan. /Foto: AFP

Pedoman Tangerang - Empat bersaudara di Afghanistan menarik tumpukan karpet dari gudang. Mereka terlihat putus asa mencari nafkah ketika ekonomi negara itu tertatih-tatih dan mendekati ambang kehancuran.

Saudara-saudara Haidari sekarang menghabiskan hari-hari mereka duduk sejajar di bangku jongkok, seperti yang dilakukan generasi keluarga sebelumnya: menenun permadani kompleks yang membuat Afghanistan terkenal.

Mereka bekerja berjam-jam setiap hari, menjaga wajah berani meskipun tidak ada jaminan mereka akan memiliki siapa pun untuk menjual karpet mereka.

"Kami tidak punya pilihan lain untuk menjaga keluarga tetap hidup," kata Ghulam Sakhi, kepala keluarga berusia 70 tahun, dilansir dari Channel News Asia, Ahad, 12 Desember 2021.

Baca Juga: Taliban Haramkan Pernikahan Paksa Perempuan di Afghanistan

Sejak 15 Agustus, ketika Taliban kembali berkuasa di Afghanistan, saudara-saudara Haidari berhasil lolos dari kerja keras pembuatan karpet dan menjalankan bisnis yang sukses dengan memasok bunga untuk pernikahan.

Namun, interpretasi keras gerakan konservatif terhadap Islam, sebagian besar dibayar untuk pertunangan mewah yang begitu digemari oleh orang-orang Afghanistan. Akibatnya perusahaan keluarga runtuh.

Dalam sebuah tindakan kreativitas dalam menghadapi kesulitan, mereka jatuh kembali pada perdagangan pembuatan permadani keluarga mereka.

"Tentu saja ketika Taliban mengambil alih ... aula pernikahan tidak memiliki banyak bisnis. Itu sebabnya kami memulai karpet lagi," kata Rauf, 28 tahun, anak tertua dari bersaudara yang semuanya tinggal dan bekerja di Kabul.

Baca Juga: Warga Afghanistan Ngeri, Taliban Pamerkan Mayat Terduga Penjahat di Alun-alun Kota Herat

"Ini adalah praktik yang sangat lama yang diturunkan nenek moyang kami kepada kami," katanya.

Sekarang mereka mengambil untaian dari benang sutra yang menjuntai sebelum melingkarkannya ke dalam lusi dan pakan permadani dengan energi yang tepat dan berirama.

Ketika karpet 12 meter selesai, mereka berharap akan menghasilkan uang hingga US$6.000 dolar.

Pusaka Nasional

Sekitar dua juta dari 38 juta penduduk Afghanistan bekerja di sektor karpet, demikian menurut Noor Mohammad Noori, yang mengepalai asosiasi pembuat karpet nasional.

Tapi permintaan telah merosot tajam sejak pengambilalihan negara oleh Taliban. Keadaan itu memicu eksodus ekspatriat yang bekerja untuk organisasi internasional.

Baca Juga: Seruan Agar Dunia Tak Akui Pemerintahan Taliban Menggema di Afghanistan

Karpet Afganistan terbuat dari sutra tenun Persia yang rumit hingga suku wol yang lebih sederhana, sebuah bahan yang yang amat dicari di seluruh dunia.

Namun dalam beberapa bulan terakhir, kata Kabir Rauf, semakin banyak orang membuat karpet. Rauf merupakan seorang pedagang di Kabul yang menggambarkan dagangannya sebagai pusaka nasional Afghanistan.

Rauf menuturkan, yang baru di antara angkatan kerja penenun karpet adalah perempuan yang tidak bisa bekerja, anak perempuan yang putus sekolah, dan laki-laki yang menganggur.

Di Herat, dekat perbatasan Iran, Haji Abdul Qader sudah mempekerjakan sekitar 150 keluarga untuk bisnis pembuatan karpetnya.

Baca Juga: Eropa Rencanakan Buka Hubungan Diplomatik dengan Pemerintahan Taliban

Tetapi setiap hari, dua atau tiga orang lagi menghubunginya, sangat membutuhkan pekerjaan. Bahkan mereka yang tidak berpengalaman pun bisa menghubungi.

"Tidak ada pekerjaan lain," kata Rauf Haidari.

Kebanggaan

Mereka yang memiliki keterampilan memiliki kesempatan untuk mencari nafkah.

"Seseorang yang tahu cara menenun karpet tidak akan pernah tanpa pekerjaan," kata Muhammad Taghi, yang keluarganya telah bekerja dengan Haji Abdul Qader selama satu dekade.

Taghi dulu menenun ketika dia masih muda, tetapi sekarang pekerjaan itu diserahkan kepada keempat anaknya yang berusia antara 17 dan 24 tahun. Mereka membuat karpet di sebelah kompor di rumah keluarga.

Baca Juga: Taliban Menegaskan Tugas Perempuan Hanya Melahirkan Anak Saja

Mereka membutuhkan waktu 120 hari untuk menyelesaikan empat permadani berukuran dua kali tiga meter yang cocok, di mana keluarga itu akan menghasilkan sekitar US$ 500.

"Saya bangga dengan pekerjaan ini. Kami membuat di negara kami karpet ini yang akan dijual ke seluruh dunia sebagai karpet Afghanistan," kata Muhammad Taghi.

"Saya dapat mengirim anak perempuan dan laki-laki saya ke sekolah dan universitas dengan uang ini," imbuhnya.

Baca Juga: Universitas Kembali Dibuka, Mahasiswa dan Mahasiswi Afghanistan Dibatasi oleh Tirai

Putra bungsunya, Nassim, 17 tahun, yang mulai menenun pada usia 10 tahun, masih bersekolah dan bercita-cita menjadi dokter.

Namun bagi para pedagang karpet, kelebihan pasokan membawa masalah tersendiri. Penarikan bank dibatasi hingga 400 dolar seminggu yang menerima sekitar lima permadani seminggu.

"Saya khawatir saya tidak akan punya cukup uang untuk membayar produsen," kata Haji Abdul Qader.***

Editor: Muhammad Alfin

Tags

Terkini

Terpopuler