TII: Inkonsistensi Aturan Pembatasan Penanggulangan Pandemi

27 Juli 2021, 14:18 WIB
Para petugas sedang menertibkan arus lalu lintas pada simulasi PPKM Darurat di Simpang Lima, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut. /kabar-priangan.com/ Aep Hendy/

Pedoman Tangerang -  Melalui keterangan pers di YouTube Sekretariat Presiden pada hari Minggu, 25 Juli 2021, Presiden Joko Widodo resmi memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 mulai tanggal 26 Juli hingga 2 Agustus 2021.

PPKM Level 4 ini merupakan lanjutan dari rentetan panjang aturan pembatasan yang diterapkan oleh pemerintah untuk menanggulangi Pandemi COVID-19.

Sebelumnya, pemerintah permah menggunakan beberapa aturan pembatasan seperti PSBB, PPKM, PPKM Darurat, hingga PPKM Level 4-3.

Baca Juga: Serikat Pekerja Tolak Privatisasi Subholding dan IPO Pembangkit PLN

Hemi Lavour Febrinandez, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute menilai bahwa inkosistensi aturan pembatasan yang diterapkan oleh pemerintah menunjukkan masih kaburnya peta jalan dalam melakukan penanggulangan Pandemi COVID-19. 

“Awal pandemi, kita mengenal aturan pembatasan mobilitas aktivitas masyarakat dengan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar. Meskipun mendapat kritik karena terdapat suara publik yang menginginkan agar dilakukan lockdown, namun setidaknya PSBB masih terdapat dalam Undang-Undang tentang Kekarantinaan Nasional,” ungkap Hemi pada 27 Juli 2021.

Hemi menjelaskan ketika pemerintah merujuk pada ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, maka PPKM yang saat ini dilakukan mirip dengan definisi dari “karantina wilayah” yang terdapat pada undang-undang tersebut. Contohnya seperti pembatasan untuk dapat keluar-masuk wilayah yang dikarantina.

Baca Juga: Tragedi Kudatuli, Sekjen PDIP: Perjuangan Belum Selesai Demi Menuntut Kebenaran

Namun, terdapat perbedaan dalam konteks tanggung jawab pemerintah pusat.

“Pasal 55 Undang-Undang tentang Kekarantinaan Nasional menjamin bahwa selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait. Menurut saya, ini salah satu faktor yang membuat pemerintah enggan untuk mengambil opsi yang dikenal dengan karantina wilayah.” kata Hemi.

Hemi juga menegaskan bahwa bantuan sosial tidak bisa disamakan dengan jaminan kebutuhan hidup dasar yang dimaksud oleh Undang-Undang tentang Kekarantinaan Nasional.

Baca Juga: Tragedi Kudatuli, Sekjen PDIP: Perjuangan Belum Selesai Demi Menuntut Kebenaran

“Jadi, masyarakat dalam wilayah yang dikarantina seharusnya mendapatkan seluruh pemenuhan kehidupan mereka. Dari kebutuhan untuk konsumsi sehari-hari hingga kemudahan untuk mengakses obat-obatan," jelasnya.

Menurut Hemi, setiap langkah pemerintah dalam menangani Pandemi COVID-19 harus tetap merujuk pada ketentuan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Ketika regulasi yang dibutuhkan tidak ada, maka Presiden dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), mengingat bahwa Indonesia saat ini berada di tengah pandemi.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Rabu 28 Juli 2021: Hari yang Rumit Bagi Semua Zodiak, Ada Emosi, Beban Kerja hingga Cinta

“Persoalan tidak hanya pada pilihan nomenklatur aturan pembatasan yang diterapkan oleh pemerintah, namun lebih pada tanggung jawab negara kepada masyarakat, Selain penamaan, yang harus diperjelas adalah peta jalan penanganan pandemi agar masyarakat tidak menjadi kebingungan di tengah situasi yang tidak pasti ini.” pungkas Hemi.***

Editor: R. Adi Surya

Tags

Terkini

Terpopuler