Muhammad Kece dan Yahya Waloni Ditangkap, SETARA Apresiasi Kinerja Penegak Hukum

- 27 Agustus 2021, 15:23 WIB
Muhammad Kece dan Yahya Waloni
Muhammad Kece dan Yahya Waloni /Kolase

Pedoman Tangerang - Muhammad Kece ditangkap oleh Bareskrim Mabes Polri di Bali pada 24 Agustus 2021.

Dua hari berselang, Bareskrim menangkap Yahya Waloni pada 26 Agustus 2021.

Menurut keterangan pihak Bareskrim Polri, keduanya dijerat dengan pasal penodaan agama.

Baca Juga: Polisi Tangkap Ustadz Abdul Somad, Setelah Tim Cyber Temukan Kejanggalan, Cek Faktanya

Berkaitan dengan dua kasus penangkapan tersebut, SETARA Institute menyampaikan beberapa pernyataan berikut.

Pertama, SETARA Institute mengapresiasi langkah penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian atas tindakan figur publik yang menggunakan sentimen keagamaan untuk memantik segregasi lintas iman, memprovokasi eksklusi, mengancam kohesi sosial, dan merusak koeksistensi damai dalam kebinekaan.

Namun demikian, SETARA Institute menilai bahwa pengguna pasal penodaan agama untuk menjerat para tersangka bukanlah tindakan yang tepat.

Baca Juga: PKS: Rencana Vaksinasi Berbayar Rawan Penyimpangan

Kedua, berkaitan dengan hal itu, SETARA Institute mendorong Polri untuk melakukan moratorium penggunaan pasal penodaan agama.

Pihak Kepolisian, dalam pandangan SETARA Institute, mesti melakukan terobosan hukum untuk menjerat keduanya dengan pasal-pasal hasutan dan kebencian yang ada, baik dalam KUHP maupun di luar KUHP.

Ketiga, dalam penelitian SETARA Institute, pasal-pasal penodaan agama lebih banyak digunakan untuk menghukum perorangan dan melindungi kelembagaan agama.

Baca Juga: Yahya Waloni dan Muhammad Kece Ditangkap, Yaqut: Siapapun Dia, Apapun Agamanya, Hukum!

Akibatnya, pasal-pasal penodaan agama tidak memberikan jaminan perlindungan atas hak perseorangan untuk menikmati pilihan merdeka berdasarkan hati nurani (conscience) untuk memeluk agama atau berkeyakinan.

Bahkan yang sering terjadi, pasal-pasal penodaan agama digunakan untuk menghukum interpretasi perseorangan yang berbeda dari keyakinan keagamaan arus utama (mainstream)

Padahal dalam prinsip dasar hukum internasional jelas bahwa yang harus dilindungi bukanlah agama, tetapi kebebasan perorangan yang menganut agama tertentu.

Baca Juga: Dikira Kekenyangan Sehabis Makan Sandwich, Perempuan ini Ternyata Hamil

Karena itu pilihan bebas dan berdasarkan hati nurani tidak boleh seseorang atau kelompok direndahkan hanya karena pilihannya itu.

Oleh karena itu, Indonesia dan aparat hukumnya sebagai bagian dari negara beradab dalam komunitas internasional mestinya menghentikan penggunaan pasal-pasal penodaan agama.

Keempat, dalam penelitian SETARA Institute mengenai rezim penodaan agama (1965-2017), penegakan hukum menggunakan pasal-pasal penodaan agama seringkali mengekalkan pendekatan mayoritas dan minoritas di negeri ini.

Baca Juga: Tiru Crazy Rich Pamer Uang di Medsos, Pejambret ini Sukses Diciduk Polisi

Penegakan hukum pidana sering dilakukan dengan tebang pilih terhadap pelaku dan kasus tertentu.

Beberapa kasus yang mana pelaku dari kelompok agama mayoritas merendahkan penganut agama minoritas tidak pernah diproses hukum.

Kasus Yahya Waloni merupakan contoh nyata, yang mana ceramah-ceramah Yahya Waloni sudah sangat lama dipersoalkan karena merendahkan iman Kristiani dan dilaporkan ke kepolisian.

Baca Juga: Pelecehan Seksual di Ruang Publik Sering Terjadi, Mengapa Bisa Terjadi?

Demikian pula dengan beberapa ceramah Abdus Somad yang dinilai merendahkan. Namun, polisi baru memproses Yahya Waloni setelah mengemuka kasus Muhammad Kece yang merendahkan simbol, ritus, dan doktrin keislaman.

Kelima, SETARA Institute memandang bahwa kasus Muhammad Kece dan Yahya Waloni adalah momentum untuk melembagakan penggunaan pasal-pasal hasutan dan kebencian berdasarkan agama.

Polri sebenarnya sudah memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggunakan pasal-pasal hasutan dan kebencian berdasarkan agama, sebagai pengganti pasal-pasal penodaan agama yang sumir dan tidak memberikan kepastian hukum.

Baca Juga: Apakah yang Dimaksud Sindrom Long Covid-19?

Polri mesti menjadikan Surat Edaran Kapolri No 6 Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian sebagai prosedur operasional standar dalam penanganan kasus-kasus kebencian, termasuk pada kasus Muhammad Kece dan Yahya Waloni.

Surat Edaran yang dikeluarkan pada masa kepemimpinan Jenderal Badrodin Haiti tersebut menekankan pemidanaan atas kebencian yang antara lain dalam bentuk hasutan dan provokasi.

Selain itu, KUHP yang ada saat ini sebenarnya sudah mengenal pasal hasutan, seperti pada pasal 160 KUHP.

Baca Juga: Setelah Muhammad Kece dan Yahya Waloni Ditangkap, Netizen Minta Felix Siauw Ustadz Abdul Somad Diproses

Juga pasal mengadu dengan memfitnah, sebagaimana Pasal 310 KUHP.

Keenam, berkaitan dengan hal tersebut, SETARA Institute juga mendesak pemerintah dan DPR yang sedang dalam proses melakukan revisi atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk menghapus pasal-pasal penodaan agama dalam RKUHP.

Sebagai gantinya, negara mesti merumuskan pidana hasutan (incitement) dan pidana kebencian (hate crime) berdasarkan sentimen keagamaan.

Baca Juga: TII: Apa Benar Indonesia Keluar Dari Resesi?

Selebihnya, kita tidak kekurangan pakar dan akademisi hukum pidana untuk merumuskan element of crime dalam pidana hasutan dan kebencian atas dasar agama dan keagamaan.

Di samping itu, beberapa norma dan dokumen internasional bisa dijadikan dasar seperti Pasal 20 ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang sudah kita ratifikasi menjadi UU No 12 Tahun 2005.

Selain itu, negara dapat merujuk pada dokumen Rabat Plan of Action yang disusun oleh Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa.

Baca Juga: Ngeri, Bocah 16 Tahun dan Anjingnya Dikejar Tetangga Membawa Tongkat Penuh Paku

Ketujuh, SETARA Institute juga mendorong organisasi-organisasi keagamaan yang untuk memassifkan agenda-agenda untuk membangun imunitas dan resiliensi umat beragama dari paparan hasutan dan provokasi untuk membangun kebencian dan melakukan intoleransi, diskriminasi, dan persekusi atas kelompok keagamaan yang berbeda.

Semakin pesatnya perkembangan dunia digital dan pemanfaatannya saat ini di masa pandemi turut memberikan ruang besar bagi hasutan dan provokasi kebencian berdasarkan agama.

Dalam konteks demikian, potensi hasutan dan provokasi kebencian tidak hanya bersumber dari saluran-saluran dan figur-figur dalam negeri, namun juga datang dari luar negeri.

Baca Juga: Habis Muhammad Kece, Giliran Yahya Waloni Ditangkap Polisi

Oleh karena itu, kontribusi dan terobosan organisasi-organisasi keagamaan sangat diperlukan untuk mengembangkan keberagamaan yang rasional, toleran, dan damai dalam tata kebinekaan Indonesia.***

Editor: R. Adi Surya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah