DPR Heran Sikap Ambigu BPK yang Gemar Kasih WTP Tapi Ragukan Keuangan Pemerintah

- 23 Juni 2021, 20:15 WIB
Ilustrasi foto Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra Heri Gunawan dan BPK RI
Ilustrasi foto Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra Heri Gunawan dan BPK RI /Foto: Diolah Pedoman Tangerang.

Baca Juga: Kawal Percepatan Pemulihan Ekonomi, DPR Dorong Optimalisasi Anggaran BPK dan BPKP

Selain itu, sepanjang tahun 2020, pendapatan negara dan hibah mencapai Rp 1.647,78 triliun atau 96,93 persen dari anggaran. Sedangkan realisasi belanjanya mencapai Rp 2.595,48 triliun atau 94,75 persen. Dengan demikian, fiskal mengalami defisit sebesar Rp 947,70 triliun atau sekitar 6,14 persen dari PDB.

Disisi realisasi pembiayaan Tahun 2020 mencapai Rp1.193,29 triliun atau sebesar 125,91% dari nilai defisitnya sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp245,59 triliun. Artinya, pengadaan utang Tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit.

“Memang pandemi Covid-19 telah meningkatkan defisit, utang, dan sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) yang berdampak pada pengelolaan fiskal, namun sebaiknya BPK juga perlu melihat UU Nomor 2 Tahun 2020 sebagai dasar hukum pembengkakan defisit tersebut,” kata Heri.

Pria yang akrab disapa Hergun ini menyayangkan BPK hanya menyebut Perpres 72 dan UU Keuangan Negara. Padahal kedua aturan tersebut terkait dengan Perppu No. 1/2020 yang sudah ditetapkan menjadi UU No. 2/2020.

Baca Juga: Soal Utang BUMN 800 Triliun, DPR: Kalau Sehat, Masalah Biasa-biasa Saja

“Perpres 72 merupakan aturan turunan dari Pasal 12 ayat (2) Perppu No.1/2020. Begitu pula defisit APBN yang semula dibatasi 3% dalam Penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara diubah boleh melebihi 3% oleh Pasal 2 ayat 1 huruf a nomor 1 Perppu No.1/2020,” kata politikus Partai Gerindra ini.

Ia menambahkan, defisit melebihi 3 persen tersebut dibatasi hanya sampai 2022 saja. Tahun 2023 defisit sudah harus kembali ke maksimal 3% lagi. Bahkan dalam masa peralihan menuju 3% tersebut angka defisit harus dilakukan secara bertahap. Artinya, defisit pada 2022 harus lebih rendah dari 2020 dan 2021.

“DPR mengapresiasi keberanian BPK menyatakan kekhawatiran tentang penurunan kemampuan pemerintah membayar utang dan bunganya. Namun, hendaknya secara utuh menjadikan UU No.2 Tahun 2020 sebagai pijakan hukum. Selain itu juga harus berani memberikan penilaian selain WTP,” kata Hergun.

Hergun menuturkan adanya pembengkakan defisit hingga 6,14 persen dari PDB masih dalam koridor UU No.2/2020 sebagai upaya penanganan dampak pandemic Covid-19. Namun terjadinya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp245,59 triliun harus diaudit oleh BPK. Bila ini tidak ada kejelasan, maka pemerintah tidak layak mendapatkan opini WTP.

Halaman:

Editor: Alfin Pulungan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah