Putra Mendiang Diktator Filipina Menang Pilpres, Praktik Oligarki Ternyata Sama dengan Indonesia

- 13 Mei 2022, 22:20 WIB
Putra Mendiang Diktator Filipina Menang Pilpres, Praktik Oligarki Ternyata Sama dengan Indonesia
Putra Mendiang Diktator Filipina Menang Pilpres, Praktik Oligarki Ternyata Sama dengan Indonesia /

Pedoman Tangerang - Menilik sejarah kekuasaan Filipina masa Ferdinand Marcos menjabat Presiden pada 36 tahun silam.

Saat itu keluarga diktator Ferdinand Marcos Sr digulingkan dari kekuasaan dan diusir dari Filipina. 

Bahwasanya, keluarga Marcos dituduh memiliki keserakahan dan kebrutalan saat berkuasa. Kini anaknya, Marcos Jr yang akrab dipanggil Bongbong berhasil unggul dalam Pemilu Presiden (Pilpres) Filipina. 

Baca Juga: Kemana Boaz Solossa sekarang? Pertanyaan yang Beredar Saat Liga 1 2022 Mulai Bergulir, Berikut Riwayatnya

Dengan lebih dari 95% suara dihitung, Marcos Jr memiliki sekitar 30 juta suara, lebih dari dua kali lipat saingan terdekatnya, Wakil Presiden Leni Robredo, yang memiliki sekitar 14 juta suara, menurut penghitungan parsial dan tidak resmi dari Komisi Pemilihan Umum (Comelec). Dikutip tim Pedoman Tangerang dari laman, Jumat 13 Mei 2022. 

Kemenangan Marcos Jr tak terlepas dari kampanye media sosial untuk mengubah citra era Marcos lama bukan sebagai periode darurat militer, dengan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan, korupsi, dan hampir keruntuhan ekonomi, tetapi sebagai zaman keemasan, kemakmuran, dan bebas kejahatan.

Ini dimulai setidaknya satu dekade yang lalu, dengan ratusan video yang diedit secara menipu diunggah ke Youtube, yang kemudian diposting ulang di halaman Facebook yang simpatik. 

Ini meyakinkan jutaan orang Filipina bahwa fitnah terhadap keluarga Marcos setelah kejatuhan mereka tidak adil, bahwa kisah-kisah keserakahan yang tak tertandingi itu tidak benar.

"Ada spektrum kebohongan dan distorsi dalam video-video ini," kata Fatima Gaw dari Departemen Riset Komunikasi Universitas Filipina.

"Ada penyangkalan langsung terhadap kekejaman era perang. Ada juga banyak distorsi, klaim kemajuan ekonomi selama apa yang disebut tahun-tahun emas Filipina, dengan memilih detail tertentu."

"Bagi Indonesia, hasil Pemilu Presiden Filipina ini adalah alarm. Politik Filipina dan Indonesia banyak mirip," kata peneliti dan pendiri Institut Riset Indonesia, Dian Permata.

Seperti halnya Filipina, kata Dian, orang Indonesia juga cenderung punya ingatan pendek, gampang lupa, termasuk atas kesalahan besar pada masa lalu dari sosok pilihannya pada hari ini. 

"Ini masih didukung lagi oleh ekologi politik Indonesia, termasuk didalamnya sistem politik Indonesia," tegas Dian.

Kemiripan ekologi dan situasi politik Filipina dan Indonesia, ungkap Dian, bisa disimak antara lain dari disertasi Dante C Simbulan yang mengulik sosiopolitik Filipina. Salah satu yang kental kemiripannya adalah praktik oligarki di Filipina dan Indonesia.

"Oligarki adaptif dengan perubahan-perubahan sistem, termasuk reformasi. Tidak heran, banyak pengusaha terjun ke dunia politik," ujar Dian meringkas salah satu implikasi temuan Simbulan.

Gambaran patronase dan distribusi kalangan elite di Pemerintahan Filipina dalam disertasi Dante C Simbulan (halaman 416) yang menginvestigasi sosio politik Filipina.

Di level pemilih, kondisi di Indonesia dan Filipina juga relatif sama. Ekspresi Anthony Sola, salah satu warga pendukung Marcos Jr, atas hasil Pemilu Presiden Filipina, memberikan gambaran awal.

"Dia akan mengangkat negara kami dari kemiskinan yang kami alami sekarang," kata Sola yang tak menutupi kegembiraannya.

Dengan disinformasi yang meluas lewat jejaring Facebook, pendukung Marcos Jr seperti Sola bahkan menegasikan fakta yuridis tentang kasus korupsi keluarga Marcos pada masa lalu.

"Saya tidak percaya mereka mencuri uang. Jika mereka melakukannya, mereka seharusnya sudah dipenjara," sangkal Sola atas kasus korupsi senilai 10 miliar dollar AS dalam periode kekuasaan Ferdinand Marcos.

Sekitar 43 persen orang Filipina mendaku diri berstatus miskin dan 39 persen yang lain merasa berada di ambang batas kemiskinan, berdasarkan jajak pendapat Social Weather yang dipublikasikan pada 21 Maret 2022. 

Kekalutan atas kemiskinan yang membelit dan nostalgia atas situasi yang dirasa menyajikan kemakmuran, walau bisa jadi semu jadi pendorong dukungan suara dalam Pemilu Presiden 2022 bagi Marcos Jr. 

Suasana kebatinan di Filipina ini mungkin sepadan dengan meme yang beberapa waktu lalu ramai di Indonesia, "Enak jamanku, to?" 

Dalam situasi kebatinan pemilih yang merasa kondisi sekarang tak lebih baik dari suatu masa pada masa lalu, pengingat tentang korupsi, oligarki, dan kelemahan demokrasi menjadi bak angin lalu. 

Bongbong, panggilan Ferdinand Marcos Jr, meraup 56 persen dukungan suara dari pemilih Filipina. Perolehan suara ini lebih dari dua kali lipat dukungan yang didapat kompetitor terkuatnya, Leni Robredo, yang beraliran liberal. 

Serasa belum cukup menyentak, mayoritas pemilih Filipina pun tampak menegasikan dampak buruk enam tahun pemerintahan otoriter Rodrigo Duterte yang akan segera berakhir. 

Putri Duterte, Sara Duterte, meraup pula suara mayoritas untuk kursi Wakil Presiden Filipina. 

Adnan berpendapat, konteks politik Indonesia dan Filipina sebenarnya agak berbeda. 

Setidaknya, kata dia, generasi muda Indonesia relatif lebih kritis menyikapi kemunculan dan penampilan tokoh-tokoh politisi pada hari-hari ini.

Namun, dalam hal ancaman bagi demokrasi terkait pengkultusan individu, Adnan sepakat bahwa hal itu adalah celah bagi langgengnya oligarki dan harapan-harapan palsu, termasuk di Indonesia bahkan dalam periode kedua jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Setiap kali survei, perbaikan ekonomi selalu jadi poin prioritas harapan publik. Jokowi dipercaya mampu menjadi jawaban dalam dua periode jabatannya. Namun, (pada saat bersamaan) masyarakat mengeluhkan ekonomi juga," ungkap Adnan.

Kasus minyak goreng yang merebak sejak akhir 2021 hingga beberapa waktu lalu, sebut Adnan, bisa menjadi salah satu contoh keluhan publik soal penanganan ekonomi. Kasus itu juga sejatinya mengungkap kegagalan pemerintah. 

"Kita kerap dimanipulasi oleh keyakinan kita sendiri tentang ketokohan yang asumsinya menyelesaikan persoalan," ujar Adnan.

Dalam hal Filipina, lanjut Adnan, kultur masyarakat yang berbasis klan juga menyuburkan primordialitas. 

Meski Indonesia tak sepenuhnya mirip terkait konteks ini, ada gelagat yang tetap perlu diantisipasi pula. 

Oligarki di Indonesia, kata Adnan, juga adalah persoalan yang tak bisa dinafikan seperti halnya di Filipina. 

Orde Baru dengan Soeharto sebagai patron juga tak pernah benar-benar bakal bisa dihapus dari Indonesia. 

Tidak dapat dimungkiri bahwa sejumlah politisi yang namanya masih berseliweran bahkan berada di pemerintahan hingga sekarang merupakan sosok yang lahir dan besar dari Orde Baru. 

Menurut Adnan, reformasi di Indonesia hanya mampu menyingkirkan Soeharto dari kekuasaan. Dalam struktur ekonomi politik, Orde Baru masih mengakar hingga sekarang. 

"(Reformasi sejauh ini masih) gagal membangun struktur ekonomi politik yang lebih bersih, lebih demokratis. Para pemain politik dan ekonomi tidak banyak bergeser (dari Orde Baru)," ujar Adnan. 

Tantangan bagi Indonesia

Belajar dari hasil Pemilu Presiden Filipina 2022, Adnan meminta para aktor politik lebih fokus memperkuat institusi demokrasi daripada "jualan" sosok atau figur. 

"Kalau tidak begitu, demokrasi bisa menjadi ricuh. Kelihatan bagus tapi borok banyak," tegas dia.

Berkaca dari Filipina, ungkap Adnan, proses hukum atas rezim korup Marcos memang ada. 

Namun, keluarga penguasa Filipina tersebut tetap menikmati hasil korupsi, punya kekebalan hukum, dan Imelda Marcos pun masih menjadi idola bagi sebagian masyarakat.

Masih dari Pemilu Filipina 2022, strategi Marcos Jr yang menggandeng Sara Duterte juga patut dicermati. Yang ini terkait isu politik populisme, strategi yang lebih dulu digunakan ayah Sara untuk menduduki tampuk kekuasaan. 

"Kasus Filipina ini memberikan pelajaran bahwa lagi-lagi yang dilihat masih individu dan calon, bukan kualitas dan kapasitas institusi politiknya," tegas Adnan.

Bagi Indonesia, kedua hal di atas juga terjadi dari waktu ke waktu. Terlebih lagi, Adnan melihat ada tren praktik korupsi yang kini berjalan lebih leluasa, lebih mudah, dan lebih berani, sebagai imbas kebijakan anti-korupsi yang sekadar pragmatis. 

"Harus kita akui bahwa sistem antikorupsi tengah mengalami relaksasi," ujar Adnan. 

Lalu, populisme dan arus disinformasi yang membanjiri media sosial pun terjadi di Indonesia. 

Kedua hal ini di Filipina bahu-membahu menegasikan fakta sejarah tentang kekejaman dan praktik korupsi yang terjadi selama rezim Marcos berkuasa.  

"Belajar dari Filipina, kelompok masyarakat sipil dan kita semua harus cukup kuat untuk membangun counter narasi (atas arus disinformasi dan praktik politik populisme)," kata Adnan. 

Di tengah PR besar membendung politik uang dalam kontestasi politik, tegas Adnan, pendidikan politik harus terus diperkuat. 

Rekam jejak para aktor dan catatan sejarah harus terus menjadi ingatan kolektif publik. Semangat menolak lupa harus terus dijaga dan dirawat.

Demikianlah informasi mengenai fakta Marcos Jr, anak dari mendiang Ferdinand Marcos seorang diktator mantan Presiden Filipina.***

Editor: Araf Mukhtar

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah