Al-Ghazali Ihya Ulumuddin dan Paul Ricoeur Interpretation Theory

- 1 Juni 2021, 19:30 WIB
Ilustrasi Buku
Ilustrasi Buku /Foto : pinterest/

Dengan kerangka otonomi semantik tersebut, sebuah karya telah dibebaskan dari ikatannya dengan pengarang, di mana sebuah karya didekonstualisasikan dari konteks di mana sebuah karya diproduksi dan dari hubungan sasarannya, yang kemudian direkonstualisasikan. Dibebaskannya teks dari pengarang adalah dilepaskannya beban dan hubungan psikologis khusus antara teks dengan pengarangnya. Sementara itu dibebaskannya teks dari konteks produksi dan kelompok sasarannya adalah dilepaskannya hubungan-hubungan sosiologis sebuah teks demi memberikan kemungkinan maksimal kepada teks itu sendiri untuk mengatakan apa yang ingin disampaikannya kepada publik atau pembaca. Meskipun begitu, otonomi semantik tidaklah dimaksudkan untuk menyangkal atau pun menolak kepengarangan seseorang seakan-akan sebuah teks adalah entitas nir-author. Otonomi semantic lebih dimaksudkan bahwa maksud pengarang bukanlah satu-satunya penentu tafsir atas karya.

Karena itulah pada praktik penafsiran dan pembacaan, seringkali ada kontradiksi atau ketakcocokan atau pun pertentangan antara dunia empirik yang dirujuk oleh teks dengan dunia yang diajukan alias diusulkan (proposed-world / possible-world), dunia yang diciptakan dan dimaknakan secara baru oleh teks. Artinya, seringkali sebuah teks atau pun karya lepas dan berada di luar kendali pengarangnya, dari apa yang dimaksudkan oleh pengarangnya, alih-alih malah menciptakan kemungkinan-kemungkinan makna dan arti bagi dunia dalam teks itu sendiri. Dan karya yang berhasil menurut Ricoeur adalah karya yang mampu memberikan kemungkinan ragam penafsiran dan pembacaan (surplus-meaning).

 

Dalam khasanah pemikiran dan penafsiran Islam, tafsir metaforis, alegoris, dan simbolis dikenal dengan istilah ta’wil alias tafsir esoteris, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sufi dan mazhab-mazhab pemikiran yang tidak puas dengan mazhab-mazhab yang cenderung literal dalam membaca teks semisal kaum Hanbal yang acapkali dogmatis dan tidak terbuka pada ijtihad. Dalam tradisi ta’wil ini salah-satu tokoh moderatnya adalah alghazali, di mana pendapat-pendapatnya tentang tafsir ia tuangkan dalam salah-satu karyanya, Ihya ‘Ulum al Din, yang mengakui adanya arti lahir dan makna bathin dalam sebuah teks:

“Memang riwayat dan hadits dan yang lainnya mengindikasikan bahwa bagi manusia yang memahami (menafsir) terdapat ruang gerak yang besar, lebar, dan meluas (muttasa’) dalam makna Al-Qur’an. Begitulah suata ketika Ali bin Abi Thalib berkata: Rasulullah tidak menceritakan kepadaku apa saja yang dia sembunyikan dari orang-orang kebanyakan, kecuali bahwa Tuhan memberkati pemahaman akan Al-Qur’an kepada manusia. Jika tidak ada makna selain apa yang telah disampaikan, maka apa yang dimaksudkan dengan pemahaman Al-Qur’an itu? Rasulullah menjawab: Sesungguhnya Al-Qur’an memiliki aspek lahiriah (verbal-literal) dan aspek bathin (simbolik dan alegorik), sebuah tafsir (hadd) dan sebuah awal (mathla’). Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud atas otoritasnya sendiri, dan beliau adalah salah-seorang ahli tafsir. Lalu apa yang dimaksudkan dengan aspek lahiriah dan aspek bathin, awal dan akhir itu? Ali berkata: Jika aku boleh berharap, aku ingin membebankan tujuh puluh unta dengan tafsir surat Al-Fatihah” (IU:I, h.252).

Meskipun begitu, menurut Al-Ghazali, penafsiran esoteris mestilah dilakukan setelah kita memahami arti literal teks: “Orang hendaknya tidak mengabaikan untuk mempelajari terjemahan (tafsir lahiriah) terlebih dahulu, karena tidak ada harapan untuk mecapai aspek bathin (esoteris) Al-Qur’an sebelum menguasai aspek lahirnya. Orang yang mengklaim telah memahami rahasia-rahasia (asrar) Al-Qur’an tanpa pernah menguasai aspek lahiriahnya adalah seperti orang yang mengaku diri telah memasuki ruang utama sebuah rumah (sadr al bayt) tanpa pernah melewati pintunya. Atau seperti orang yang mengaku telah memahami maksud-maksud orang Turki dari perkataan mereka tanpa pernah menguasai bahasa Turki” (ibid, h.262).

Adapun mengenai pentingnya tafsir esoteris menurut Al-Ghazali karena seringkali ada pertentangan (kontradiksi) dan pembatalan (nasakh) dalam hubungan-hubungan makna sejauh menyangkut teks-teks Al-Qur’an: “Perbedaan antara realitas-realitas makna Al-Qur’an dan tafsir literal dapat dipahami dari contoh berikut: Sesungguhnya kamu tidak melempar ketika kamu melempar, tetapi Kami-lah (Allah) yang melempar (Al-Qur’an, 8;17). Tafsir literal ayat ini jelas, namun makna sejatinya samar, karena ia menegaskan pelemparan sekaligus menyangkalnya, dan ini tampak sebagai pernyataan yang bertentangan” (ibid, h.263).

Bila kita kembali ke Ricoeur, term dualisme Al-Ghazali tersebut mendapatkan istilahnya sebagai dua level atau tingkatan penandaan dan pemaknaan, yang literal dan yang simbolis, tetapi penandaan dan pemaknaan yang simbolis hanya akan tercapai setelah pemaknaan dan penandaan literal memungkinkan kita untuk memahami simbol mengandung makna yang lain atau makna lebih (surplus-meaning), ketika Ricoeur mengatakan bahwa this surplus of meaning is the residue of literal interpretation, yang langsung mengingatkan saya pada pandangannya Al-Ghazali. Baik Ricoeur dan Al-Ghazali pun memiliki kesamaan pendapat ketika mengatakan bahwa bahasa puisi mampu mengandung dan memberikan ragam makna bagi penafsiran dan pembacaan. Meskipun saya tak tahu apakah Ricoeur membaca Ihya ‘Ulum Al-Din ataukah tidak? Meski kita sama-sama tahu bahwa Interpretation Theory-nya Paul Ricoeur ditulis dan diterbitkan ratusan tahun setelah Ihya ‘Ulum Al-Din-nya Al-Ghazali.***

Halaman:

Editor: Alfin Pulungan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x