Al-Ghazali Ihya Ulumuddin dan Paul Ricoeur Interpretation Theory

- 1 Juni 2021, 19:30 WIB
Ilustrasi Buku
Ilustrasi Buku /Foto : pinterest/

Pedoman Tangerang - “Orang-orang yang mengklaim bahwa Al-Qur’an tidak memiliki makna kecuali apa yang telah disampaikan oleh tafsir literal (eksoteris) sesungguhnya sedang mengakui keterbatasan kapasitas kemampuan mereka sendiri untuk melakukan penafsiran esoteris (ta’wil). Mereka (para literalis) benar dalam pengetahuan mereka, namun keliru dalam penilaiannya yang menempatkan semua orang berada pada tingkatan (maqam) mereka yang pemahamannya terbatas” (Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumu Al-Din). “Dalam bejana-bejana keberadaanmu terdapat batu-batu permata dan berlian yang bersinar terang. Tersembunyi di dasar lautan keadaanmu zamrud dan pecahan tanah. Dan tentang Kami, Kami memiliki dua rumah: dari satu rumah Kami menggelar taplak makanan dari kenikmatan yang teramat lezat, dan di rumah yang lainnya Kami menyalakan api kemurkaan” (Sam’ani, Rawh Al-Arwah).

Pada tahun 1976, filsuf Perancis Paul Ricoeur mempublikasikan karya terpentingnya, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Karya intelektualnya tersebut tak diragukan lagi telah memberikan sumbangan teoritis dan metodologis yang sangat berarti bagi khasanah ilmu-ilmu kemanusiaan dan kritik-sastra, terutama untuk menjawab ketakpuasannya terhadap cara pandang strukturalisme. Dalam introduksi karya monumentalnya itu, Ricoeur memaksudkan kerja teoritik dan filosofisnya untuk memahami dan menguji konsep kesatuan tekstual (the concept of textual unity) sebagai konstruk bahasa (as a construct of language). Sementara itu pada tingkatan praktis dan pragmatis, karya teoritiknya itu diniatkan sebagai kerangka analitik dan hermeneutik untuk memahami bahasa pada ragam produksinya dalam puisi, pola naratif, dan juga pada esai.

Dengan karyanya tersebut, Ricoeur membedakan diskursus tulisan (written discourse), yang kemudian ia definisikan sebagai teks, dari wicara atau kelisanan (spoken). Artinya, yang dinamakan teks oleh Ricoeur adalah bahasa yang telah dipatenkan dalam bentuk tulisan, bukan bahasa lisan. Selanjutnya, Ricoeur memperkenalkan konsep diskursus atau wacana (discourse-text) sebagai hasil dialektis antara makna (meaning) dan peristiwa (event), di mana peristiwa sebagai pengalaman yang diekspresikan, diujarkan, atau pun dituliskan merupakan pertukaran intersubjektif, yang dengan demikian apa yang ingin dikomunikasikan dalam tiap diskursus bukanlah apa yang diekspresikan, tetapi makna yang dibawa dan berada di baliknya.

Baca Juga: Fidel Castro, Kiri dan Bentuk Manifestasi Perlawanan Imperialisme di Palestina

Pada konteks itulah, pengalaman yang dihidupi (lived experience) memang milik ruh pribadi yang unik (private), akan tetapi makna teks atau ujaran dari ekspresi pengalaman beralih menjadi milik publik pembaca melalui diskursus yang dituliskan (written discourse) atau apa yang oleh Ricoeur sendiri disebut sebagai teks (fixed-writing). Sebagai contohnya, perasaan dan pengalaman subjektif seorang penyair atau novelis memanglah milik pribadi si penyair atau pun si novelis alias milik dunia bathin penulisnya. Tetapi puisi atau novelnya sebagai ekspresi selalu berkaitan dengan berbagai makna dalam pengalaman hidup itu sendiri.

Oleh karena itu, sejalan dengan dialektika makna-peristiwa terdapat lingkaran hermeneutic (hermeneutic-circle) antara sense atau makna tekstual (textual-meaning) dengan reference atau makna referensial sebagai makna yang lahir dari hubungan antara teks dengan dunia di luar teks. Sementara itu, sense atau makna tekstual lahir dari hubungan di dalam teks itu sendiri yang sifatnya gramatik.

Seringkali makna pengarang atau maksud pengujar (author-meaning / uttered-meaning) berbeda dengan makna teks atau maksud ujaran (textual-meaning / utterance-meaning). Perbedaan tersebut merupakan konsekuensi yang lepas alias berada di luar kendali pengarang. Karena jika yang dinamakan teks adalah fiksasi (pembakuan) dan inskripsi (tulisan), maka dengan sendirinya sebuah teks atau pun wacana yang dituliskan (written discourse) telah mendapatkan otonominya, yang dengan itu pula Ricoeur membedakan antara teks yang telah dibebaskan dari pengarangnya dengan tindak-wicara (spoken) yang masih sangat tergantung dengan maksud pengujarnya.

Baca Juga: Menyelami Makna Filosofis Pancasila

Argumentasi teoritik tersebut sesungguhnya bernada Heideggerian yang mengasumsikan bahwa pemahaman dan penafsiran kita tentang dunia tak mungkin dilepaskan dari dunia itu sendiri di mana kita berada, baik konteks, tempat, wacana epistemologis, dan cakrawala budaya, di mana kita kemudian berbahasa.

Halaman:

Editor: Alfin Pulungan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x