Kisah Siti Walidah, Nyai Ahmad Dahlan, Perempuan Berperan Penting dalam Pendidikan Indonesia

16 Juli 2021, 19:00 WIB
Nyai Ahmad Dahlan, Perempuan yang Berperan Penting dalam Pendidikan Indonesia /Ahyar/ARAHKATA

Pedoman Tangerang - Pada 3 Januari 1872 di Desa Pesantren Kauman, Yogyakarta, lahir seorang anak perempuan dari K.H. Muhammad Fadli dan istri. K.H. Muhammad Fadli yang merupakan seorang ulama besar di Kauman dan Penghulu Keraton Yogyakarta Hadiningrat itu memberi nama putrinya Siti Walidah.

Menurut Putri Lestari, Anggota Perempuan Indonesia Satu, Siti Walidah tumbuh di tengah lingkungan agama Islam yang cukup kuat. Sejak kecil, ia sudah mengenal dan belajar ilmu agama. Namun, Siti tidak mengikuti pendidikan umum di sekolah karena saat itu masih berkembang pemikiran bahwa sekolah formal ditujukan untuk laki-laki.

Karena merasakan langsung bagaimana terbatas dan terbelakangnya perempuan dalam dunia pendidikan, Siti ingin melakukan sebuah tindakan yang dapat mengatasi masalah ini. Ia pun mulai aktif meningkatkan kesetaraan gender di dunia pendidikan setelah menikah dengan Ahmad Dahlan. Setelah menikah, Siti lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan.

Baca Juga: Kisah Sukses Mantan Karyawan yang di-PHK Jadi Wirausaha di Masa Pandemi Covid-19

Pasangan yang dikaruniai enam orang anak tersebut bersama-sama berjuang mencerdaskan masyarakat. Mereka memberikan pendidikan umum dan agama Islam kepada masyarakat.

Pada 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Islam bernama Muhammadiyah. Melalui organisasinya ini, Ahmad Dahlan tidak hanya fokus memberikan pendidikan untuk laki-laki. Ia bersama sang istri juga ingin memajukan pendidikan kaum perempuan.

Dua tahun setelah Muhammadiyah berdiri, mereka mendirikan Sopo Tresno. Sopo Tresno merupakan kelompok diskusi perempuan untuk mendalami ayat Al-Quran, khususnya ayat-ayat tentang perempuan. Selain itu, kelompok ini juga menjadi wadah bagi para perempuan untuk belajar menulis, membaca, dan berbagai ilmu pengetahuan.

Baca Juga: Kisah Likas Tarigan, Perempuan Tangguh Dari Tanah Karo

Siti Walidah mendirikan Sopo Tresno dengan tujuan untuk mencerdaskan kaum ibu-ibu. Ia ingin para ibu tidak hanya pintar soal agama, tetapi juga pandai berhubungan dengan manusia lain dan lingkungan sekitar.

Sopo Tresno mendapat sambutan positif dari masyarakat. Seiring waktu, anggota Sopo Tresno kian bertambah banyak. Nyai Ahmad Dahlan dan suami akhirnya memutuskan untuk membuat perkumpulan ini menjadi lebih bagus dan berkembang.

Pada 22 April 1917, nama perkumpulan tersebut resmi diubah menjadi Aisyiyah. Nama Aisyiyah merujuk pada nama istri Nabi Muhammad SAW, yaitu Aisyiah binti Abu Bakar. Siti Walidah pun resmi ditunjuk menjadi Ketua Aisyiyah.

Lima tahun kemudian, Aisyiyah secara organisasi resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah. Sekolah-sekolah di bawah naungan Aisyiyah pun mulai didirikan. Misalnya, sekolah taman kanak-kanak pertama di Indonesia bernama Frobel dan sekolah dasar untuk perempuan dengan nama Volk School.

Selain mendirikan sekolah, Aisyiyah juga banyak mengadakan kegiatan yang mendukung kemajuan perempuan. Salah satunya, Aisyiyah membuat program pemberantasan buta huruf pertama di Indonesia, baik huruf Arab maupun latin. Selain itu, Aisyiyah juga menjadi pelopor Kongres Wanita Pertama di Indonesia. Tak hanya itu, organisasi ini juga aktif meningkatkan pengetahuan dan mendorong partisipasi perempuan dalam ranah publik.

Baca Juga: Bikin Haru, Kisah Bidan Ingin Jadi Tahfidz Alquran Sungguh Menyentuh

Nyai Ahmad Dahlan pun semakin semangat memperjuangkan emansipasi wanita. Ia tidak setuju dengan konsep patriarki yang menilai seorang istri hanyalah mitra bagi suaminya. Selain itu, Siti juga menentang praktik kawin paksa.

Ketika Ahmad Dahlan wafat pada 1923, Siti tetap semangat meneruskan perjuangan suaminya di bidang pendidikan. Dirinya pun menggantikan suaminya menjadi pemimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Menjadikannya perempuan pertama yang memimpin pertemuan sebesar itu.

Berjuang melawan Jepang dan Belanda

Seiring Muhammadiyah yang semakin berpengaruh dalam pergerakan nasional, Aisyiyah turut berkembang semakin besar. Anggotanya semakin banyak dan cabang-cabangnya di berbagai daerah di Indonesia juga kian bertambah. Nyai Ahmad Dahlan terus memimpin Aisyiyah hingga 1934.

Namun, pada 1943, keberadaan Aisyiyah dilarang oleh pemerintahan militer Jepang. Walaupun begitu, semangat Siti untuk memperjuangkan pendidikan perempuan Indonesia tak surut. Ia terjun langsung memberikan pendidikan bagi anak-anak Indonesia dengan bekerja di sekolah-sekolah bentukan Jepang.

Nyai Ahmad Dahlan juga tak segan menentang sejumlah ritual yang dipaksakan oleh pasukan Jepang kepada rakyat Indonesia. Contohnya, menyanyikan lagu kebangsaan Jepang serta hormat ke arah matahari dan bendera Jepang.

Pada saat Indonesia sudah merdeka dan Belanda kembali untuk menguasai lagi negeri ini, Siti tetap ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Dirinya banyak dimintai nasihat oleh para tokoh bangsa, termasuk Presiden Soekarno. Selain itu, Siti juga mengajak para mantan muridnya untuk membantu para pejuang mempertahankan kemerdekaan.

Di tengah suasana perang, Nyai Ahmad Dahlan membuka pintu rumahnya untuk menjadi tempat berlindung para tentara dan rakyat Indonesia yang ikut berperang. Bahkan, ia menyiapkan masakan untuk para pejuang tersebut.

Pada 31 Mei 1946, Siti Walidah meninggal dunia. Ia dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Nyai Ahmad Dahlan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soeharto melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971. (Putri Lestari – Anggota Perempuan Indonesia Satu).***

Editor: Alfin Pulungan

Sumber: Perempuan Indonesia Satu

Tags

Terkini

Terpopuler