Fakta Tumbangnya Kekuasaan Soeharto dan Ferdinand Marcos Tidak Jauh Beda, Berikut Sejarahnya

13 Mei 2022, 22:40 WIB
Fakta Tumbangnya Kekuasaan Soeharto dan Ferdinand Marcos Tidak Jauh Beda, Berikut Sejarahnya /Tangkapan layar twitter @TututSoeharto49/

Pedoman Tangerang - Ferdinand Marcos sosok diktator mantan Presiden Filipina, yang memiliki nama asli Ferdinand Emmanuel Edralin Marcos Sr. 

Pada 25 Februari 1986, tepat hari ini 32 tahun yang lalu, ia dipaksa melepaskannya lantaran dihantam gelombang demonstrasi rakyat yang menamakan diri Revolusi EDSA.

Saat itu keluarga diktator Ferdinand Marcos Sr digulingkan dari kekuasaan dan diusir dari Filipina. 

Baca Juga: Kemana Boaz Solossa sekarang? Pertanyaan yang Beredar Saat Liga 1 2022 Mulai Bergulir, Berikut Riwayatnya

Diketahui bahwa keluarga Marcos dituduh memiliki keserakahan dan kebrutalan saat berkuasa.

Karena sebab adanya kediktatoran, Korupsi, dan Pelanggaran HAM, Tiga faktor itulah yang mengakhiri 21 tahun kekuasaan Ferdinand Marcos. 

Markos berkuasa di Filipina sejak 30 Desember 1965. Marcos terpilih sebagai presiden pada usianya yang ke-48. Selama kampanye ia menjual cerita keterlibatannya dalam perang melawan invasi Jepang di Filipina pada Perang Dunia II. Ada banyak bagian yang didramatisasi dan manjur untuk menjaring suara. 

Belakangan diketahui, berdasarkan dokumen Angkatan Darat Amerika Serikat, klaim Marcos sebenarnya palsu, tidak masuk akal, dan hanya sebuah penipuan.

Saat maju di periode kedua, ia mengklaim masa pemerintahan pertama dipenuhi dengan pembangunan jalan dan sekolah, jauh melampaui rezim-rezim sebelumnya. 

Meski dituduh terlibat kasus pembelian suara dan mencurangi pemilihan umum, Marcos tetap menang pada 1969.

Korupsi, kolusi, dan nepotisme kemudian makin meluas. Oposisi kiri berbondong-bondong mengecam platform ekonomi liberal yang dibawa Marcos sebab menghasilkan kesenjangan ekonomi yang ekstrem. 

Hal ini menimbulkan naiknya angka kriminalitas dan penangkapan warga sipil di seantero Filipina. 

Pemberontak Maois dan Moro juga lahir dan makin mengacaukan stabilitas negara.

Seperti halnya sejarah Indonesia pada tahun 1998 silam, saat masa orde baru yang dikuasai Soeharto.

Menjadikannya mirip praktik oligarki Indonesia, masa orde baru Soeharto. Salah satu bejatnya Marcos saat berkuasa mulai dari terbunuhnya pemimpin oposisi, kecurangan pemilu,  hingga ditumbangkan oleh kekuatan rakyatnya.

Dalam sejarah, Marcos yang tak mau kalah turut menyelenggarakan upacara inaugurasi di Istana Malacanang. Para loyalisnya bernyanyi “Marcos, Marcos, masih Marcos!" Penayangan acara ini diganggu tentara pemberontak yang berhasil menguasai stasiun penyiaran.

Saat itu, ratusan demonstran sudah berada di sekitar istana dan dicegah pasukan pengamanan agar tak menyerbu ke bagian dalam. Sejumlah pendeta di barisan oposisi turut membantu menenangkan amarah massa.

Di malam harinya, Marcos menyerah. Ia dan keluarganya kemudian terbang ke Hawaii. Keputusan ini disambut dengan kegembiraan yang meluap-luap oleh massa EDSA. 

Orang-orang kembali berdansa di jalanan, dan lainnya menyerbu bagian dalam Istana Malacanang, yang sebelumnya menjadi tempat terlarang bagi warga biasa. 

Kemenangan Revolusi EDSA mendapat selamat dari komunitas internasional, lebih menyenangkan lagi sebab tidak berakhir dengan perang sipil.

Sedangkan, masa orde baru era Soeharto seperti apa? Simak ulasan sejarah Indonesia dibawah ini.

Soeharto tumbang sebagai presiden RI pada Kamis, 21 Mei 1998. Presiden RI yang telah memimpin Indonesia selama 31 tahun itu akhirnya tunduk dengan aksi demo besar-besaran rakyat Indonesia.

Selama periode Mei 1998, Indonesia digambarkan dalam situasi genting. Demo mahasiswa di kawasan Trisakti pada 12 Mei 1998, menewaskan empat mahasiswa, yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. 

Mereka gugur oleh peluru petugas kepolisian dan tentara yang menghalau aksi protes tersebut.

Kematian empat mahasiswa ini membuat rakyat Indonesia semakin marah kepada pemerintah, selain karena sudah gerah dengan kondisi perekonomian Indonesia yang kian terpuruk, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang terkuak.

Ada sejumlah fakta yang sekiranya perlu diketahui generasi masa kini soal kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada kelengseran Soeharto dan dimulainya masa reformasi dengan pengangkatan Baharudin Jusuf Habibie sebagai presiden ketiga RI.

Untuk mengungkap fakta, pelaku, dan latar belakang Tragedi Mei, pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang terdiri dari unsur-unsur pemerintah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), LSM, dan organisasi kemasyarakatan lain. 

Tim ini dibentuk pada 23 Juli 1998, dan bekerja hingga 23 Oktober 1998. TGPF dipimpin Marzuki Darusman.

Berikut enam hal yang perlu diketahui dari kerusuhan Mei 1998 berdasarkan temuan TGPF:

Penembakan Mahasiswa

Kerusuhan Mei 1998 dipicu kondisi ekonomi, politik, dan sosial saat itu. Sebelum kerusuhan Mei meletus, Indonesia baru saja selesai menggelar Pemilu 1997 yang berujung pada diangkatnya kembali Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya.

Krisis moneter juga tengah melanda Indonesia saat itu. Nilai tukar rupiah terhadap dolar di luar akal sehat, harga-harga kebutuhan pokok melonjak tajam, utang negara di IMF dan Bank Dunia menumpuk.

Pada 4 hingga 8 Mei 1998, pemerintah membuat kebijakan menaikkan harga minyak 70 persen dan  300 persen untuk biaya listrik. 

Sementara korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin merajalela. Hal ini membuat rakyat Indonesia marah, dan mulai menggelar demonstrasi melawan dan menuntut pemerintah melakukan reformasi.

Pada 12 Mei 1998, mahasiswa dari sejumlah kampus yang berkumpul di Universitas Trisakti mendesak berdemonstrasi di luar kampus. Tapi hal ini ditanggapi dengan tembakan peluru aparat yang menyebabkan 4 mahasiswa Trisakti tewas.

Keesokan harinya kerusuhan besar pecah, terjadi penjarahan, perusakan, pembakaran, kekerasan seksual, penganiayaan, pembunuhan, penculikan, dan intimidasi yang berujung pada munculnya teror, sehingga pada 21 Mei 1998, Soeharto pun mengumumkan keputusannya untuk mundur dari kursi kepresidenan, pada pukul 09.00 WIB.

Munculnya Provokator

TGPF menemukan, kerusuhan 13–15 Mei 1998 mempunyai pola umum yang dimulai dengan berkumpulnya massa pasif, terdiri dari massa lokal dan massa pendatang yang tidak dikenal.

Kemudian muncul sekelompok provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan seperti membakar ban atau memancing perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanaskan situasi, merusak rambu-rambu lalu lintas, dan sebagainya.

Setelah itu, provokator mendorong massa untuk mulai melakukan pengrusakan barang dan bangunan, disusul tindakan menjarah barang, dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang-barang lain.

Penjarahan

Pelaku kerusuhan 13-15 Mei 1998 terdiri dari dua golongan yakni pertama, masa pasif (massa pendatang) yang karena diprovokasi berubah menjadi masa aktif.

Kedua, provokator, yang umumnya bukan dari wilayah setempat. Secara fisik mereka tampak terlatih, sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar.

Para provokator ini juga membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya.

Bermula di Jakarta Barat

TGPF menemukan, titik picu awal kerusuhan di Jakarta terletak di wilayah Jakarta Barat. Tepatnya di wilayah sekitar Universitas Trisakti pada 13 Mei 1998. 

Pada 14 Mei 1998, kerusuhan meluas dengan awalan titik waktu hampir bersamaan, yakni rentang antara pukul 08.00 WIB sampai pukul 10.00 WIB.

Khusus di Jakarta, kerusuhan dipicu oleh tertembak matinya mahasiswa Trisakti pada sore hari, 12 Mei 1998. Penembakan mahasiswa Trisakti ini juga memicu kerusuhan di lima daerah, kecuali di Medan dan sekitarnya, di mana kerusuhan telah terjadi sebelumnya.

Sasaran kerusuhan adalah pertokoan, fasilitas umum (pompa bensin, tanda-tanda lalu lintas dan lain-lain), kantor pemerintah (termasuk kantor polisi) yang menimbulkan kerusakan berat termasuk pembakaran gedung, rumah dan toko, serta kendaraan bermotor umum dan pribadi. Sasaran kerusuhan kebanyakan etnis China.

Orang Hilang

Kerusuhan Mei 1998, tidak hanya menyebabkan 4 mahasiswa tewas. Sebagian orang juga dinyatakan hilang, dan banyak warga mengalami luka, trauma dan kerugian material lain.

Beberapa orang yang dilaporkan hilang ke YLBHI/Kontras dan belum ditemukan sampai Laporan Akhir TGPF dibuat  yakni Yadin Muhidin (23 tahun) hilang di daerah Senen, Abdun Nasir (33 tahun) hilang di daerah Lippo Karawaci, Hendra Hambali (19 tahun) hilang di daerah Glodok Plaza, dan Ucok Siahaan (22 tahun) tidak diketahui lokasi hilangnya.

Jumlah Korban

Berdasarkan data yang dihimpun TGPF, tim relawan menyebutkan korban meninggal dunia dan luka-luka 1.190 orang akibat ter/dibakar, 27 akibat senjata, dan 91 luka-luka.

Data Polda Metro, 451 orang meninggal, korban luka-luka tidak tercatat. Data Kodam Jaya, 463 meninggal termasuk aparat keamanan, 69 luka-luka. Data Pemda DKI, jumlah korban meninggal 288 orang, dan luka-luka 101 orang.

Untuk kota-kota lain di luar Jakarta, variasi angkanya sebagai berikut:

– Data Polri 30 orang meninggal dunia, luka-luka 131 orang, dan 27 orang luka bakar.

– Data Tim Relawan 33 meninggal dunia, dan 74 luka-luka.

Opini yang selama ini terbentuk adalah bahwa mereka yang meninggal akibat kesalahannya sendiri, padahal ditemukan banyak korban menjemput ajal bukan karena kesalahan mereka sendiri.

Demikianlah informasi mengenai fakta sistem oligarki dan banyak kerusuhan yang terjadi pada masa kekuasaan Ferdinand Marcos dan orde baru era Soeharto.***

Editor: Araf Mukhtar

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler