UMP 2022 Naik, Peneliti: Selalu Ada Trade-off

27 November 2021, 17:30 WIB
Ratusan buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) Provinsi Jawa Barat saat melakukan aksi unjuk rasa di depan  Gedung Sate, Kota Bandung,  menuntut kenaikan upah minimum tahun 2022 sebesar 10 persen. /Portal Bandung Timur/hp.siswanti/

Pedoman Tangerang - Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sudah ditetapkan oleh Gubernur pada 21 November 2021 lalu.

Namun, kenaikan UMP dinilai masih terlalu kecil rata-rata hanya 1,09 persen dibandingkan UMP 2021.

Dilansir dari Kementerian Ketenagakerjaan, besarnya kenaikan UMP 2022 tersebut disebabkan oleh kondisi perekonomian yang melambat akibat pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Konferensi Pers yang digelar oleh Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, pada 16 November 2021 yang lalu menjelaskan tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum Pekerja 2022 yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta turunannya Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. 

Baca Juga: Habib Bahar Disamakan dengan Jenderal Sudirman, Ferdinand: Jangan Rendahkan Pahlawan Kami

Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Nuri Resti Chayyani menanggapi keputusan ini dengan mengingatkan kepada masyarakat bahwa dalam ekonomi selalu ada trade-off.

Trade-off merupakan hal yang ditemui dalam membuat suatu keputusan. 

“Kenaikan upah minimum yang kecil tersebut tentunya sudah melalui berbagai kajian dan perhitungan. Apabila upah minimum ternyata masih kecil, sudah seharusnya pemerintah daerah membuat kebijakan lain sebagai pilihan untuk kesejahteraan buruh” ujar Nuri pada 25 November 2021.

Baca Juga: Nagita Slavina Melahirkan Anak Kedua, Ini Inisialnya..

Nuri menyebutkan bahwa kebijakan lain yang dimaksudkan adalah dengan memaksimalkan manfaat Kartu Prakerja, memperbanyak program pelatihan untuk meningkatkan kemampuan, memperhatikan pendidikan anak-anak buruh, hingga peningkatan tunjangan.

Tentu saja kebijakan ini juga harus memperhatikan kondisi pemberi kerja dan ekonomi makro secara keseluruhan, karena masalah upah minimum dan kesejahteraan buruh bukanlah masalah yang sederhana dan tunggal. 

Upah minimum tidak hanya diukur dari segi inflasi dan pertumbuhan ekonomi daerah, tetapi juga diukur dengan indeks kebutuhan hidup layak seseorang pekerja untuk dapat hidup dalam satu bulan.

Baca Juga: Gawat! Muncul Varian Baru Omicron Lebih Ganas Dari Delta, Pemerintah Diminta Tutup Penerbangan Afrika

Dari sudut pandang bisnis, kenaikan upah yang tinggi membuat minat investasi turun karena mahalnya biaya operasional.

Dampaknya akan terasa juga pada perekonomian daerah dan peningkatan pengangguran. 

"Untuk tetap meningkatkan kesejahteraan buruh sudah seharusnya pemerintah pusat berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memaksimalkan realisasi anggaran pemulihan ekonomi nasional pada klaster perlindungan sosial dan klaster UMKM dan Korporasi," kata Nuri.

Baca Juga: Dian Sastro Berkolaborasi dengan 'Sejauh Mata Memandang' Kampanyekan Peduli Lingkungan

"Selain itu, upaya-upaya melalui tripartit dengan pemberi kerja dan pekerja juga perlu difasilitasi untuk mengakomodasi beragam kepentingan para pihak terkait dan mempertimbangkan dampak kebijakan terkait upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja, faktor produktivitas dan kelayakan upah, serta mekanisme pasar, khususnya di konteks Indonesia", pungkasnya.***

Editor: R. Adi Surya

Tags

Terkini

Terpopuler