Pada tahun ke sembilan hijriyah, Nabi SAW mengutus Ali bin Abi Thalib untuk menyampaikan awal surat al-Taubah pada waktu haji akbar. Awal surat al-Taubah itu menyatakan pembatalan perjanjian dengan orang-orang musyrik, karena mereka selalu mengkhianati perjanjian itu.
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa setelah selesai perang Badar, al-Abbas adalah termasuk orang yang ditawan oleh umat Islam. Ia mendapatkan ejekan dan cemoohan dari orang-orang Muslim dan menyatakan bahwa dia seorang yang kafir.
Al-Abbas menjawab cemoohan orang-orang Muslim dengan pernyataan: Mengapa kamu hanya menyebut-nyebut kejahatan kami saja, dan tidak sedikitpun menyebut kabaikan kami? Sayyidina Ali menjawab pertanyaan Abbas: Apa kebaikan yang kamu lakukan? Abbas menjawab: Kami mengurus dan memakmurkan Masjidil Haram, memelihara Ka’bah dan menyediakan minuman bagi jamaah haji. Berkaitan dengan pernyataan al-Abbas itu turun ayat untuk membantahnya, yaitu:
مَا كَانَ لِلۡمُشۡرِكِينَ أَن يَعۡمُرُواْ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ شَٰهِدِينَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِم بِٱلۡكُفۡرِۚ أُوْلَٰٓئِكَ حَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ وَفِي ٱلنَّارِ هُمۡ خَٰلِدُونَ
Artinya: “Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.” (QS. Al-Taubah, 09:17).
Baca Juga: Teks Khutbah Jumat, 19 April 2024 : Evaluasi Diri Setelah Puasa Di Bulan Ramadan
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Ayat ini menjelaskan bahwa tidak layak bagi kaum musyrikin, memakmurkan Masjidil Haram dan masjid-masjid lainnya.
Memakmurkan masjid-masjid Allah itu bertujuan untuk mengesakan dan mengagungkan Allah, serta mentaati-Nya. Dengan demikian, kegiatan itu hanya layak dilakukan oleh orang-orang yang beriman, bukan oleh orang-orang kafir maupun orang-orang munafik.
Yang dimaksud dengan memakmurkan masjid ialah membangunnya, mengurusnya dengan baik, menghidupkannya dengan amal ibadah yang diridhai oleh Allah.