Teks Khutbah Jumat 9 Februari 2024: Hikmah Peristiwa Isra Miraj yang Bisa Diaktualisasikan dalam Kehidupan

- 8 Februari 2024, 21:30 WIB
Teks Khutbah Jumat 9 Februari 2024: Hikmah Peristiwa Isra Miraj yang Bisa Diaktualisasikan dalam Kehidupan.
Teks Khutbah Jumat 9 Februari 2024: Hikmah Peristiwa Isra Miraj yang Bisa Diaktualisasikan dalam Kehidupan. /Pixabay/Mark

Sebagian ulama berkata:

رَجَبُ شَهْرُ الزَّرْعِ وَشعْبَانُ شَهْرُ السَقْيِ وَرَمَضَانُ شَهْرُ الْحَصَادِ
“Rajab adalah bulan menanam, Sya’ban adalah bulan untuk menyirami, dan Ramadlan adalah bulan panen.”

Maka dari itu, marilah kita gunakan bulan Rajab ini dengan sebaik-baiknya dengan memperbanyak amal saleh, istighfar, sedekah, puasa dan lain sebagainya.

Hadirin jama’ah jum’ah yang berbahagia,

Sebagaimana kisah yang telah masyhur, pada bulan Rajab juga terdapat peristiwa ajaib dan mengagumkan, berupa isra’ wal mi’raj, perjalanan nabi dari Masjidil Haram sampai Masjidil Aqsha kemudian menuju Sidratul Muntaha. Berikut beberapa kisah yang dapat kita petik dari cerita Isra’ dan Mi’raj tersebut. Pertama, Isra’ dan Mi’raj adalah perkara yang haq karena sharih (sangat jelas dan eksplisit) disebutkan dalam Al-Qur’an, sebuah kejadian yang pasti terjadi, pasti benar, tak ada keraguan sama sekali meskipun akal manusia tidak dapat menjangkau.

Semua hal aneh ini terjadi dalam rangka menguji dan mengukur ketebalan iman seseorang, sebab manusia tersesat adalah orang yang hanya mengukur sebuah kebenaran hanya bersandar pada akal semata. Kita harus menghindari arus pemikir yang hanya membanggakan akal dengan mengesampingkan kekuatan Allah yang lain. Karena tidak mustahil jika pola pikir demikian dilestarikan akan menjadikan ajaran agama yang tidak cocok dengan akal akan ditolak dan diingkari, na’udzubillahi min dzalik. Padahal model demikian adalah cara pandang iblis. Iblis itu disifati dengan أَوَّلُ مَنْ قَاسَ الدِّيْنَ بِرَأْيِهِ (makhluk yang pertama kali mengukur kebenaran agama dengan akalnya sendiri).

Kedua, sebelum Nabi Muhammad menghadap Allah SWT (mi’raj), beliau dibedah dadanya, dibersihkan hatinya meskipun hati Nabi sebenarnya sudah pasti bersih karena beliau ma’shum (suci dari dosa). Sebagaimana yang ditulis pengarang Simthut Durrar, Habib Ali Al Habsyi:

وَمَا أَخْرَجَ الْلأَمْلَاكُ مِنْ قَلْبِهِ أَذَى وَلَكِنَّهُمْ زَادُوْهُ طُهْرًا عَلَى طُهْرٍ
“Malaikat tidak menghilangkan kotoran dari hati Nabi, tetapi agar hati yang suci semakin menjadi suci”.

Pembersiahan hati ini dilakukan sebelum Rasulullah menerima tugas shalat lima waktu. Ini juga pelajaran bagi kita sebagai umatnya yang banyak dosa bahwa saat akan menghadap Allah SWT hendaknya lebih dahulu kita bersihkan hati kita masing-masing.

Maksudnya, apabila kita shalat harus dimulai dengan hati yang suci, khusyu’ tidak memikirkan bab dunia. Sampai Allah SWT berfirman menggunakan lafadz " أَقِيْمُوْا الصَّلَاةَ " tidak " اِفْعَلُوْا الصَّلَاةَ ". Iqâmatusshalâh tidak sama dengan fi’lusshalâh. Fi’lusshalâh yang penting melakukan rukun dan syarat shalat sudah disebut fi’lusshalâh.

Halaman:

Editor: Bustamil Arifin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah