Ramadhan Berkah, Kultum Sebelum Berbuka Puasa: Kearifan Islam Atas Tradisi Lokal

- 14 Maret 2023, 19:30 WIB
Ramadhan Berkah, Kultum Sebelum Berbuka Puasa: Kearifan Islam Atas Tradisi Lokal.
Ramadhan Berkah, Kultum Sebelum Berbuka Puasa: Kearifan Islam Atas Tradisi Lokal. /Pixabay.com/mohamed_hassan

Pedoman Tangerang - Berikut ini adalah bacaan kultum (kuliah tujuh menit) untuk bulan Ramadhan yang berkah dengan judul 'Kearifan Islam atas Tradisi Lokal'.

Kultum 'Kearifan Islam atas Tradisi Lokal'

Ada argumentasi yang menarik dikaji untuk menempatkan Islam sebagai agama penyempurna dari peradaban manusia.

Padahal agama dan para Nabi sebelumnya telah berhasil menyemai dan menjadi peneguh prinsip-prinsip peradaban yang tidak tercerabut dari akar tradisi dan teologisnya.

Namun demikian, dalam membawa misi itu tidak semua berjalan mulus, tatangan selalu menghadang sebagai mana Musa dengan Firaun, nabi Ibrahim dengan raja Namrudnya.

Kenyataannya masing-masing pengendali tradisi tidak mampu menahan diri dan menempatkan
tradisi bersanding harmonis dengan syariat Allah.

Padahal peradaban dengan sifat evolutif telah menapaki perabadan menuju tatanan manusia sempurna dibawah bimbingan wahyu Ilahi.

Berkaitan dengan prinsip hadirnya Islam sebagai penyempurna peradaban dan tradisi, paling tidak kita dapat menemukan dua legitimasi untuk membangun argumentasi.

Pertama, argumentasi langsung dinyatakan oleh Allah dalam Al-Quran yang sekaligus sebagai ayat paling akhir diturunkan, bahwa Allah menegaskan “Pada hari ini orangorang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu,” (QS. alMaidah 3).

Masih dalam konteks Islam sebagai penyempurna peradaban manusia, ada penegasan Allah dalam surat AlAn’am ayat 115 “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (AlQuran) sebagai kalimat yang besar dan adil.

Tidak ada yang dapat merobah- robah kalimat-kalaimat-Nya, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Kedua, Nabi Muhammad diutus Allah sebagai khatamul ambiya’ dan sekaligus sebagai Nabi akhir zaman.

Dengan berakhirnya masa kenabian, maka Allah tidak lagi mengangkat Nabi, karena semua sudah dinilai cukup, dan manusia tinggal mengembangkan dan meniti jalan yang sesuai dengan prinsip keislaman dan kenabian.

Oleh karena itulah, agama Islam yang disyariatkan kepada Nabi Muhammad SAW ini sebagai agama terakhir.

Dua argumentasi di atas akan membenarkan bahwa Islam hadir di tengah-tengah perkembangan peradaban dan tradisi masyarakat yang sudah dihasilkan sejak sebelum Islam dan kenabian Muhammad datang.

Ini menandakan pula bahwa Islam akan berhadapan dan berinteraksi dengan peradaban manusia yang relatif mapan.

Dalam menghadapi peradaban dan tradisi masyarakat yang sudah demikian maju dan mapannya, maka kadang kala terjadi gesekan atau bahkan permusuhan, karena masing-masing pemangku tradisi merasa terganggu.

Sebut saja nama Abu Jahal sebagai simbol perlawanan kepada Nabi Muhammad, karena merasa terusik peradaban dan tradisi nenek moyang mereka dari kehidupan maysarakat jahiliyah ketika awal Islam berkembang.

Ketakutan ini menggejala bahkan di kalangan umat Islam sendri masih terjadi silang pendapat dalam menempatkan tradisi, dengan pijakan norma-norma Islam lengkap dengan aturan yang sudah ditentukan dalam Al-Quran dan Hadits.

Ruang Dialog Islam dan Tradisi
Dialog Islam dan tradisi yang sudah mengakar di masyarakat, dan agar tradisi lokal tidak tersingkir dari peradaban Islam, maka sangat diperlukan ruang dialog untuk harmonisasi Islam dengan tradisi.

Tradisi masyarakat tidak harus disingkirkan atau dimusnahkan, melainkan harus disemai pada zona sosial yang tidak membahayakan atau diakulturasi sehingga tradisi tidak keluar dari batas-batas ketauhidan.

Dialog Islam dan tradisi masyarakat ini sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Dampaknya bagi dakwah Islam memang luar biasa, masyarakat Madinah mendukung penuh gerakan dakwah dan Islam akhirnya dapat berkembang dengan cepat.

Masyarakat Madinah tidak menaruh curiga terhadap apa yang dilakukan Nabi.

Oleh karena itu, tradisi yang ada tidak semua habis digantikan dengan tradisi Islam, akan tetapi tidak semua pula tradisi Islam yang ada dan berkembang merupakan peninggalan tradisi lama yang sudah hadir lebih awal dari pensyariatan Islam.

Dengan adanya tradisi masyarakat yang sudah mapan tersebut, Islam hadir memberi solusi kepada tradisi, Islam hadir memberi pencerahan dan memperbaharui tradisi masyarakat, bahkan Islam hadir mengukuhkan tradisi yang sudah ada sebelumnya.

Ada buku yang menggambarkan dialog Islam dan tradisi masyarakat berjudul “Islam Pesisir” karya Nur Syam yang menggambarkan bertemunya Islam dengan tradisi masyarakat.

Di mana dalam masyarakat sangat banyak tradisi yang sudah mapan sebelum Islam datang di Indonesia, lebih spesifik bagi masyarakat pesisir.

Masyarakat pesisir menjadi masyarakat yang lebih awal mengenal Islam dibanding masyarakat pedalaman.

Posisi adaptif masyarakat pesisir sangat berbeda dengan masyarakat pedalaman yang lebih sinkretik.

Tradisi yang disangkakan tidak memiliki sandaran legitimasi dan ditempatkan sebagai perilaku masyarakat yang harus dibubarkan karena bertentangan dengan ajaran Islam, nyatanya tradisi itu masih menguat.

Dalam catatan Nur Syam, ada banyak tradisi yang ada di masyarakat pesisir yang masih bertahan dan dalam perkembangannya mendapatkan dukungan dari pemuka agama yang sarat dengan nilai-nilai Islam.

Tradisi itu adalah upacara tingkeban, brokohan bayi lahir, selapanan, kekahan, khitanan, upacara tolak balak, upacara hari besar Islam, tompo tahun, manakiban, muludan dan ada tradisi megengan.

Dengan merujuk pada kesejarahan dakwah Rasulullah, dan implementasi wahyu dalam realitas sosial masyarakat yang mampu mencitakan kebersamaan dan harmonisasi Islam atas tradisi yang ada, secara garis bersar dikenal ada istilah “Tahmil, Taghyir, dan Tahrim”, sehingga kemelut Islam dan tradisi ini bisa dipertemukan dalam zona yang saling menguatkan, memperbaharui dan meniadakan sama sekali.

Fakta ini sekaligus membuka wawasan bahwa tidak semua tradisi itu bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam meski kehadirannya lebih awal dari kerasulan Nabi Muhammad.

Ada argumentasi untuk meneguhkan hal itu, Ali Sodiqin dalam “Antropologi Al-Quran Model Dialektika Wahyu dan Budaya” menyebut banyak tradisi yang dikukuhkan ketika Islam datang.

Dengan model tahmil Islam memiliki sifat menerima atau menerima berlakunya sebuah tradisi.

Posisi al-Quran yang menerima dan melanjutkan keberadaan tradisi tersebut atau dengan menyempurnakan tradisi.

Sistem perdagangan dan penghormatan terhadap bulan-bulan haram menjadi contohnya yang diajukan Sodiqin.

Sementara untuk prinsip taghyir adalah Islam menerima tradisi dan merubahnya sehingga tradisi berubah dari karakter dasarnya.

Model taghyir ini, tradisi lokal tetap dipertahankan kelestariannya, namun direkonstruksi sesuai ajaran Islam.

Pada sisi lain, Islam sama sekali tidak membela tradisi bahkan cenderung menolak dengan tegas keberlakuan tradisi di masyarakat.

Sikap tegas al-Quran diwujudkan dalam sebuah pelarangan dan disertai ancaman bagi para pelakunya, adalah judi, khamr (minuman yang memabukan), dan praktik riba merupakan tradisi lama yang diharamkan.

Ketika tradisi masyarakat Islam menguat tentang sedekah yang memiliki hubungan dengan berbagai peristiwa kehidupan manusia, khaul yang sudah rutin dikerjakan, atau ziarah untuk mengambil sikap ketauladanan dari para tokoh, atau tradisitradisi yang lain, tentu semua itu bisa dikorelasikan dengan yang sudah ada dalam norma Islam, termasuk bagaimana cara menggunakan norma dalam merespon kondisi tradisi yang tumbuh menguat di masyarakat.

Di akhir kultum ini, ada kesimpulan bahwa tradisi yang ada di masyarakat lahir melalui pemikiran, perenungan dan penghayatan termasuk dalam pengembangannya, sehingga kalau tradisi yang ada tidak bertentangan dengan norma Islam dan prinsip tauhid secara langsung posisinya masih bisa didialogkan sehingga bisa menemukan titik harmonisasi.

Oleh karena itu, mendialogkan Islam dan tradisi diperlukan kapasitas intelektual dan kearifan, agar dakwah Islam berkembang dengan cepat dan diterima masyarakat luas, tetapi tradisinya juga tidak keluar dari bingkai normatif Islam.

Jagalah dirimu dari neraka dunia dengan banyak membaca apa saja yang bermanfaat bagi diri, keluarga, dan sekitarnya.

Untuk itu, infrastruktur untuk gemar membaca perlu selalu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya.

Bangsa ini perlu membuat prioritas revolusi mentalitas gemar membaca menjadi acuan jangka pendek, menengah dan panjang.

Visi bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju, berbudaya, aman dan tenteram dimulai dan selalu dipupuk dengan menjadikan cinta ilmu dan gemar membaca serta rajin membaca sebagai budaya adiluhung yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.

Demikianlah bacaan kultum (kuliah tujuh menit) yang berjudul KEARIFAN ISLAM ATAS TRADISI LOKAL" dibuat oleh Khoiro Ummatin, jangan lupa share ya.***

Editor: Bustamil Arifin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x