P2G Beri 5 Alasan Kemdikbudristek Harus Batalkan Asesmen Nasional 2021 Saat Covid-19

- 29 Juli 2021, 14:03 WIB
P2G Beri 5 Alasan Kemdikbudristek Harus Batalkan Asesmen Nasional 2021 Saat Covid-19
P2G Beri 5 Alasan Kemdikbudristek Harus Batalkan Asesmen Nasional 2021 Saat Covid-19 /Kemendikbudristek/

Pedoman Tangerang - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) meminta Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk membatalkan penyelenggaraan Asesmen Nasional (AN) pada September-Oktober 2021.

"Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) sebagai salah satu organisasi guru tingkat nasional meminta kepada Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk membatalkan penyelenggaraan AN selama  kondisi masih pandemi Covid-19," ujar Iman Zanatul Haeri, Kabid Advokasi P2G melalui keterangan tertulis 29 Juli 2021.

Sebagai informasi Kemdikbudristek berencana menghelat Asesmen Nasional (AN) pada September-Oktober 2021. AN terdiri dari: Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.

Baca Juga: DPR Desak Nadiem Tinjau Ulang Asesmen Nasional, Isinya Kayak Survei Pilpres

Semula AN akan digelar pada Bulan Maret 2021 akan tapi Kemdikbudristek menunda pelaksanaan AN tersebut. Berikut lima alasan sekaligus rekomendasi P2G:

Pertama, P2G menilai kondisi pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan kapan akan berakhir. Dampak signifikan pandemi terhadap dunia pendidikan adalah ancaman "learning loss", meningkatkan angka putus sekolah jenjang SD seperti di Aceh, Jawa Timur, Maluku Utara, NTB, NTT, dan Papua Barat.

PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) yang sudah 1,5 tahun dilaksanakan masih belum efektif. PJJ melahirkan problematika makin besarnya fakta ketimpangan digital. Sehingga ada siswa dan guru yang sanggup melaksanakan proses pembelajaran, sementara itu banyak siswa dan guru yang tak dapat melakukan PJJ.

Baca Juga: Tinggal 3 hari Lagi, BSU Upah Guru Honorer Kemdikbud Berikut Syarat dan Cara Aktivasi Rekening

"Faktanya sebanyak 20,1% siswa dan 22,8% guru tak memiliki perangkat TIK seperti: gawai, komputer dan laptop selama PJJ, mengutip Data Kemendikbud, 2021," ungkap Suparno Sastro, anggota Dewan Pakar P2G menambahkan.

Suparno melanjutkan, dengan fakta ketimpangan digital selama PJJ, Permendikbud No.17 tahun 2021 tentang Asesmen Nasional Pasal 5 ayat 4, justru menambah ketimpangan menjadi diskriminasi baru bagi siswa. Yakni prasyarat AN harus dilaksanakan di tempat yang memiliki akses internet.

Realitanya ada sekitar 120 ribu SD yang belum memiliki TIK (komputer) minimal 15 paket. Termasuk 46 ribu sekolah yang sama sekali tidak punya akses internet bahkan aliran listrik. Belum ditambah kualitas sinyal internet yang buruk di beberapa wilayah.

Baca Juga: Menjadi Siswa Gap Year? Siapa Takut!!!

Potret PJJ yang tak efektif, ketimpangan digital yang makin menganga, akses, dan kualitas jaringan internet pendukung PJJ yang belum berubah signifikan, berakibat angka putus sekolah meningkat selama PJJ, ditambah kompetensi guru dalam melaksanakan pedagogi digital yang masih rendah, semestinya menjadi fokus pembenahan oleh Kemendikbudristek bersama lintas kementerian lain serta pemerintah daerah (Pemda).

Oleh karenanya, pelaksanaan AN belum dibutuhkan saat ini, ada prioritas lain yang lebih besar yang penting dan mendesak dibenahi.

"P2G berharap ada "grand strategy" dari Kemendikbudristek untuk mengantisipasi dan menanggulangi semua ini. Jangan sampai berakibat pada bencana demografi yang kita tanggung nanti,” tambah Suparno. 

Kedua, disebutkan bahwa tujuan AN untuk memotret kualitas pendidikan nasional termasuk di dalamnya ekosistem sekolah.

Baca Juga: Simak Cara Mengajukan Sanggahan Hasil Seleksi CPNS di sscasn.bkn.go.id

Sebenarnya jauh-jauh hari Kemendikbudristek sudah punya datanya. Rapor internasional PISA menunjukkan jika kompetensi siswa Indonesia sangat rendah dalam tiga aspek: Literasi, Numerasi, dan Sains.

Indonesia di bawah rata-rata skor negara OECD, bahkan masuk ranking lima dari bawah. Demikian pula hasil rapor nasional seperti dalam Asesmen Kompetensi Minimum Indonesia (AKSI) atau Indonesia National Assessment Programme, skor siswa kita untuk literasi, matematika, dan sains juga masih di bawah rata-rata alias rendah.

Jika AN tetap dipaksakan di masa pandemi ini, hasilnya juga akan berpotensi sama dengan hasil AKSI dan PISA sebelumnya. Bahkan bisa lebih buruk lagi.

Baca Juga: Indonesia Impor Industri Makanan Halal, Wapres: Harusnya Kita Jadi Produsen

"Wajar saja, sebab kondisi pembelajaran siswa masih sangat terkendala banyak keterbatasan selama PJJ, PJJ tak efektif, serapan materi oleh siswa hanya 30-40%, banyak kendala dialami siswa selama belajar, pelatihan guru yang timpang selama pandemi: hanya mengakomodir guru yang punya akses gawai, laptop, dan internet. Guru yang tak ada akses tak akan terjamah padahal mereka butuh perhatian ekstra," papar Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri.

Iman melanjutkan, perihal Survei Karakter juga sudah dilakukan dalam AKSI. Sedangkan Survei Lingkungan Belajar juga tiap tahun dibuat Kemendikbudristek, diisi oleh sekolah melalui format Evaluasi Diri Sekolah (EDS) dan Peta Mutu Pendidikan (PMP).

Karena EDS ini dibuat pemerintah, tentu sekolah akan mengisi dengan jawaban yang baik-baik saja. Potensi masalah baru akan timbul.

Baca Juga: MU Harus Puas Melawan Brentford dengan Skor Imbang

Survei Karakter dan Lingkungan Belajar juga akan bernasib sama, yaitu sekolah: Guru dan Siswa berlomba mengisi survei dengan jawaban yang positif-positif, agar sekolah mereka dilabeli baik bahkan sangat baik oleh Kemendikbudristek.

"Jadi, praktik Survei Karakter dan Lingkungan Belajar berpotensi mendorong guru dan siswa menjawab survei dengan tidak jujur. Demi baiknya profil sekolah di mata pemerintah," sambung Iman.

Iman menambahkan, sekolah dan Dinas Pendidikan (Pemda) pasti tidak mau juga menggadaikan nama baik sekolahnya di mata pemerintah pusat. Karena hanya sekedar survei, ya isi saja dengan yang baik-baik, begitu prinsipnya.

"Survei Lingkungan Belajar dan Survei Karakter tidak akan memotret secara komprehensif dan otentik ekosistem sekolah. Sepanjang metode yang digunakan Kemdikbudristek itu-itu saja," kata guru SMA di Jakarta ini.

Baca Juga: Mengenal Song Kang , Pria Selembut Kupu-Kupu Dalam Drama 'Neverthless'

Ketiga, Membaca Permendikbud No. 17 Tahun 2021 tentang Asesmen Nasional yang baru terbit, P2G merasa indikator Survei Lingkungan Belajar tidak komprehensif, karena hanya mengambil tiga indikator saja: Indikator keamanan, Indikator keberagaman/inklusivitas, dan Kualitas pembelajaran.

Indikator tersebut sangat parsial dan tidak utuh. Padahal ada delapan Standar Nasional Pendidikan (NSP) yang terdapat dalam UU Sistem Pendidikan Nasional dan aturan turunannya. Mestinya Delapan indikator SNP inilah yang dipotret.

Akan berbahaya dampaknya bagi "profiling" sekolah (guru dan siswa) nanti, jika survei lingkungan belajar justru didominasi pertanyaan bernuansa "Litsus" ala Orde Baru yang ramai diperbincangkan beberapa waktu ini.

Baca Juga: Tips Merawat Keluarga yang Sedang Isoman Dirumah

"Lagipula "profiling" apa yang dapat dipotret Kemendikbudristek, jika dilakukan melalui survei yang parsial. Sementara itu, Akreditasi Sekolah selama ini sudah dapat memotret delapan SNP secara utuh dan otentik dan dilakukan lembaga mandiri di luar Kemendikbud secara periodik. Jadi, untuk apa lagi Survei Lingkungan Belajar?" tanya Iman.

Keempat, dana AN sebaiknya dialokasikan bagi kebutuhan mendasar pendidikan. Terutama di masa pandemik Covid-19 seperti ini. Kemdikbudristek mengalokasikan sekitar 1,48 Triliun rupiah untuk penyelenggaraan Asesmen Nasional. Lebih baik anggaran sebesar ini direalokasikan untuk membantu PJJ akan berkualitas dan mengurangi ketimpangan digital di banyak daerah.

"Anggaran digelontorkan sangat fantastis, untuk program AN yang tidak mendesak dilakukan di masa pandemi," pungkas Iman.

Kelima, Kemdikbudristek acap kali menyampaikan jika UN berbeda dengan AN. Juga menyatakan AN tak perlu ada persiapan khusus baik oleh siswa, guru, termasuk orang tua.

Baca Juga: Benarkah Presiden Joko Widodo Mengundurkan Diri ? Cek Faktanya

Tetapi faktanya, laporan terbaru dari jaringan guru dan kepala sekolah P2G, Kemdikbudristek baru saja merilis ke pihak sekolah, daftar 45-50 nama siswa kelas VIII dan XI yang dipilih untuk mengikuti AN pada Oktober 2021 nanti.

Bagi P2G, ini strategi yang sangat berbahaya bagi sekolah lebih khusus siswa. Tragedi UN akan kembali terulang jika pola ini tetap dilakukan.

Lima puluh siswa yang dipilih ini akan benar-benar terbebani secara psikologis, sosial, bahkan ekonomi.

Mengapa? Kondisi psikologinya akan tertekan, sebab mereka mewakili sekolahnya untuk ikut AN, menjawab serangkaian soal AKM Numerasi dan Literasi, mengisi Survei Karakter. Jawaban mereka akan mempengaruhi potret atau data profiling sekolah.

Baca Juga: Tips Merawat Keluarga yang Sedang Isoman Dirumah

"Orang tua yang mampu pasti akan mengirim anaknya belajar tambahan ke Bimbel luar sekolah, demi hasil AN yang tinggi dan memuaskan semua pihak. Sedangkan siswa miskin, apalagi nilai akademik rendah tidak mampu berbuat apa-apa. Siswa miskin dan nilai akademik rendah akan jadi beban sekolah dalam AN," demikian kekhawatiran Iman.

Jika saja nilai AN hasilnya rendah, nama baik sekolah sampai Dinas Pendidikan tercoreng.

Anak termasuk guru berpotensi disalahkan oleh birokrat pendidikan daerah. Dianggap tidak serius menyiapkan AN agar hasilnya bagus.

Praktik pembelajaran sekolah akan seperti era UN. Guru akan selalu men-drilling 45-50 anak untuk belajar menjawab kisi-kisi soal AN.

Energi sekolah, guru, kepala sekolah, pengawas, sampai Kepala Dinas akan fokus demi hasil AN Sekolah yang terbaik.

Baca Juga: Legislator PKB Ini Tolak DPR Dapat Fasilitas Hotel untuk Isoman, Terlalu Manja Katanya

Demi nama baik sekolah, yayasan, dan Pemda. AN kembali akan menjadi ritual menakutkan, karena diglorifikasi. Sebab hasil yang bagus akan menjadi kebanggaan sekolah dan Pemda.

Dengan demikian, "kastanisasi Sekolah Unggulan" akan muncul kembali, padahal Kemendikbudristek melalui PPDB Zonasi ingin mengikis kastanisasi sekolah dengan prinsip pemerataan yang berkeadilan. Lagi-lagi anak akan menjadi korban ambisi orang-orang dewasa melalui kebijakan terstruktur dari Kemendikbudristek.

“Jika demikian, wajar saja AN dan UN dipersepsikan sama. Nyatanya hanya beda nama, sedangkan esensi dan daya rusaknya terhadap anak dan sistem pendidikan ternyata masih sama saja,” pungkasnya.***

Editor: Rahman Sugidiyanto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah