Mengevaluasi Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Indonesia

3 Oktober 2022, 12:56 WIB
Diskusi webinar Suarakebebasan.id dengan tema mengenai korupsi /Reynaldi Adi Surya

Pedoman Tangerang - Masalah korupsi hingga saat ini masih menjadi momok bagi bangsa ini. Tak dapat disangkal bahwa bahwa komitmen pemberantasan korupsi merupakan salah satu harapan masyarakat kepada pemerintah tiap tahunnya.

Menurut The Indonesian Institute dalam survei mengenai perilaku pemilih muda di 2024, menunjukkan generasi Milenial menaruh perhatian besar terhadap pemberantasan korupsi.

Survei yang dilakukan pada Pada tanggal 26 Juli-12 Agustus 2022 lalu menunjukan bahwa isu pemberantasan korupsi, menjadi soal penting selain masalah toleransi, lapangan kerja, kebebasan dan ekonomi.

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa extra ordinary crimes. Ia setara dengan kejahatan kemanusiaan karena watak korupsi begitu distruptif bagi banyak orang.

Oleh karena itu, wajar jika dorongan untuk pemberantasan korupsi begitu kuat dan penegakan hukum terhadap korupsi dilakukan secara tegas.

 Isu terkait dengan ancaman hukuman mati, pemiskinan terhadap pelaku melalui perampasan aset, pencabutan hak politik, dan banyak lainnya tidak jarang dijadikan ancaman untuk memberikan efek jera kepada para koruptor di Indonesia.

Namun demikian, tidak jarang pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana korupsi masih jauh dari efektif. 

Hal ini mengingat masih banyaknya kritik masyarakat yang menilai bahwa hukuman terpidana koruptor masih termasuk ringan. Belum lagi pemberian remisi bagi 23 koruptor beberapa waktu lalu, diperbolehkannya mantan narapidana koruptor untuk mencalonkan diri dalam Pileg dan Pilkada, hingga privilege khusus lainnya yang sering didapatkan pelaku tindak pidana korupsi. 

Pada Jumat, 23 September 2022 lalu, Suara Kebebasan telah menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan yang mengangkat topik “Mengevaluasi Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Indonesia”.

Agil Oktaryal, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) membicarakan perkembangan pemberatasan korupsi di Indonesia sekaligus membaca arah KPK ke depannya.

Dalam memaparkan presentasinya Agil menjelaskan performa pemberatasan korupsi sejak tahun 2021. 

Agil menilai bahwa komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi belakangan ini makin tidak jelas.

ketidakjelasan orientasi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pemberantasan korupsi, fokus legislasi pemberantasan korupsi tidak ada, alih-alih melahirkan produk legislatif yang mendukung pencegahan korupsi, DPR malah melahirkan berbagai UU yang kontroversial. 

Kemerosotan ini juga terlihat dengan menurunnya performa KPK dalam pemberantasan korupsi. Sejak Komisioner baru dilantik, lembaga antirasuah itu banyak melahirkan kontroversi ketimbang memperlihatkan prestasi.

Merujuk pada data KPK, jumlah penindakan mengalami penurunan drastis sepanjang 2020. Mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai pada instrumen penting seperti tangkap tangan.

 "Namun penurunan ini dapat dimaklumi karena adanya perubahan hukum acara penindakan yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi tumpul, missal tindakan pro justiciar mesti lapor Dewan Pengawas KPK," kata Agil.

Ini mengindikasikan bahwa KPK kurang memiliki kekuatan dalam menjaga bangsa ini dari kejahatan korupsi.

Adanya dewan pengawas KPK misalnya, membuat birokrasi dalam tubuh lembaga tersebut semakin tidak efisien dan ribet.

Ini yang membuat KPK kesulitan untuk memberantas kasus korupsi secara tuntas dan maksimal.

Selain dari sisi KPK, Agil juga menyinggung mengenai Indeks Perilaku Anti Korupsi di Indonesia.

IPAK Indonesia pada tahun 2021 lalu berada di level 3.93 (skala 0-5). Meski terlihat ada kenaikan perilaku Anti korupsi, namun angka 3.93 ini masih di bawah target 4.06 IPAK.

Inipun IPAK hanya mengukur budaya zero tolerance terhadap korupsi skala kecil (petty corruption) dengan melibatkan 10.040 responden tahun ini. Laporan IPAK tahun 2021 menyebut masih terdapat sikap permisif di masyarakat terhadap tindakan korupsi.

Menurut Agil, pada tahun 2021 lalu, terdapat 1078 terdakwa kasus korupsi yang berhasil ditangkap oleh KPK. Namun meski penegakkan hukum terhadap pelaku korupsi meningkat, tetapi vonis hukuman yang diberikan kepada pelaku korupsi cenderung ringan.

Ada yang hanya 5 tahun bahkan 2-3 tahun saja mendekam di penjara. Hal ini yang membuat kesan pemerintah tidak serius dalam menangani korupsi.

Apalagi fenomena pelepasan narapidana korupsi bulan lalu yang membuat image penegakan hukum seolah manipulatif.

Dalam pemaparannya, Agil mengetengahkan solusi yang seyogyanya bisa dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas hukum dan penanggulangan korupsi di Indonesia 

Yaitu legislatif harus melakukan revisi kembali UU KPK dan menguatkan peran KPK sebagai garda terdepan pemberatasan korupsi.

Kemudian Perubahan beberapa ketentuan UU yang mendorong percepatan pemberantasan korupsi (menyusun prolegnas pemberantasan korupsi).

Lalu MA harus di dorong untuk segera menyusun pedoman pemidanaan pidana penjara pengganti mengurangi disparitas d. Revisi UU 22 Tahun 2022 tentang pemasyarakatan agar pelaku korupsi bisa dipenjara lebih lama.

Jika pelaku korupsi diperketat syarat pembebasannya dari jerat hukum, dapat dipastikan bahwa indeks korupsi di Indonesia setidaknya dapat sedikit menurun.***

.

 

 

 

Editor: R. Adi Surya

Tags

Terkini

Terpopuler