DPR Ingatkan Desain RAPBN Tahun 2022 sebagai Kunci Keberlanjutan Pemulihan

- 3 Juni 2021, 17:14 WIB
Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin
Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin /Purwakarta News

Pedoman Tangerang - Komisi XI mengadakan Rapat Kerja bersama pemerintah dan otoritas terkait untuk membahas Asumsi Dasar Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) dalam RAPBN Tahun 2022, pada Rabu 2 Juni 2021.

Dalam agenda tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Puteri Anetta Komarudin menilai desain RAPBN tahun 2022 sangat penting sebagai kunci keberlanjutan pemulihan.

“Target pertumbuhan ekonomi tahun 2022 sangat krusial dalam menjaga keberlanjutan pemulihan jangka menengah maupun jangka panjang, sekaligus untuk mendorong upaya keluar dari middle income trap."

Baca Juga: Carut Marut Data Subsidi Listrik, BAKN DPR Ingatkan PLN Subsidi Harus Tepat Sasaran

"Untuk itu, kebijakan reformasi struktural harus diikuti dengan strategi-strategi yang dapat terimplementasi dengan baik di lapangan. Pemerintah perlu fokus untuk meningkatkan
produktivitas, mengurangi kesenjangan infrastruktur, mempercepat adopsi teknologi, serta meningkatkan kompetensi tenaga kerja,” ujar Puteri.

Sebagai informasi, pemerintah mengusulkan kisaran indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan RAPBN tahun 2022, antara lain pada 5,2–5,8 persen untuk pertumbuhan ekonomi, inflasi pada 2,0 - 4,0 persen, tingkat suku bunga SBN 10 tahun pada 6,32–7,27 persen, nilai tukar rupiah pada Rp13.900–Rp15.000/USD, harga minyak mentah pada USD 55–65 /barel, lifting minyak bumi pada 686–726 ribu barel per hari, dan lifting gas bumi pada 1.031–1.103 ribu barel setara minyak per hari.

Puteri pun mengimbau agar perumusan indikator tersebut dilakukan secara
kredibel dan akuntabel dengan mempertimbangkan berbagai dinamika perekonomian nasional dan global.

Baca Juga: Sadis, Seorang Ibu Aniaya Anaknya Yang masih Bayi Hingga Penuh Luka

“Perumusan APBN 2022 harus dapat mengantisipasi berbagai potensi risiko yang mungkin terjadi. Misalnya, ketimpangan akses vaksin COVID-19 antar negara yang menyebabkan laju pemulihan yang beragam. Hingga pemulihan ekonomi AS yang mendorong normalisasi kebijakan moneter yang lebih cepat."

"Berbagai risiko ini perlu diantisipasi karena berpotensi memicu pembalikan aliran modal dari dalam negeri yang dapat mempengaruhi imbal hasil surat utang dan tekanan pada nilai tukar rupiah. Sementara itu, kita juga masih menghadapi proses pemulihan secara sektoral dan spasial yang masih belum seragam dan berpotensi memperlebar kesenjangan,” ungkap Puteri.

Halaman:

Editor: Alfin Pulungan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah