Ketika akal dijadikan penuntun, akal dijadikan pengontrol keinginan nafsu, maka manusia akan menjelma sebagai makhluk yang paling mulia, makhluk yang ahsani taqwim sebagaimana surat al-Tin ayat ke empat di atas.
Di dalam Surat an-Nazi’at ayat 40-41 Allah berfirman:
(وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (41
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, “maka sungguh, surgalah tempat tinggal (nya). (ayat 41)”
Kedua ayat di atas dapat diterjemahkan secara secara global bahwa orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dengan melakukan amal saleh dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya dengan menaati ajaran agama, maka sungguh, surgalah tempat tinggal-nya untuk selama-lamanya dengan segala kenikmatan di dalamnya. Itulah anugerah agung Tuhan Yang Maha Pemurah.
Sebaliknya, jika nafsu yang memegang kendali, akal tunduk dengan nafsu, maka yang terjadi adalah manusia lebih jahat, lebih ganas dan lebih buas daripada binatang buas sekalipun.
Makanya Allah menyebut pada Surat al-Tin ayat 5:
(ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (التين/5
“kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,”
Di dalam Surat al-A’raf: 179, Allah berfirman: