Seperempat Abad Reformasi, Gerakan Sipil Jadi Suar Perdamaian

17 Maret 2023, 14:06 WIB
Ruang Damai /Ruang Damai

 

Penulis: Era Febrianti – Yayasan Ruang Damai @ruangdamai_id

 

Pedoman Tangerang –  Empat penggerak perdamaian dari Aceh, Poso, Jawa Barat, dan Papua duduk bersama dalam diskusi publik Ruang Damai bertajuk “Kilas Balik Perdamaian dari Sabang sampai Merauke”, Kamis (16/3).

Mereka menilik kembali upaya rekonsiliasi dan pemulihan pasca konflik di berbagai daerah. Dalam acara yang diselenggarakan Yayasan Ruang Damai ini, Lian Gogali dari Institut Mosintuwu Poso dan Suraiya Kamaruzzaman, pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) asal Aceh menyoroti proses perundingan perdamaian yang seringkali tidak sensitif gender serta kurang melibatkan masyarakat korban konflik.

“Bagi siapapun yang mendorong upaya damai, bahkan pada level yang paling kecil seperti tingkat desa, pastikan kesepakatannya tidak netral gender. Buka ruang yang adil bagi perempuan, laki-laki, dan kelompok rentan lainnya karena ada persoalan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda”, ujar Suraiya.

Aktivis sekaligus dosen Universitas Syiah Kuala ini mengkritisi Perjanjian Damai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI tahun 2005 yang tidak melibatkan perempuan. Akibatnya hak-hak perempuan korban konflik terabaikan dan korban pemerkosaan sukar mengakses keadilan.

Pada kesempatan yang sama, Lian Gogali mengatakan operasi keamanan dan kebijakan yang tidak memperhatikan suara masyarakat dikhawatirkan tidak dapat menghasilkan perdamaian yang berkelanjutan. Sebab regulasi-regulasi yang umumnya dibuat oleh para elit ini kurang menyentuh masyarakat di akar rumput: ada kelompok-kelompok yang harus diurai kebenciannya dan ada anak-anak yang harus dipulihkan traumanya.

Baca Juga: Dua Ormas Bentrok Di Depan BCA Kreo, Polres Tangerang Kota Lakukan Mediasi Damai

Hal ini juga diamini oleh Pdt. Ronald Tapilatu, kepala Biro Papua Persektuan Gereja-gereja Indonesia (PGI). 

“Penyelesaian konflik yang melibatkan kekerasan akhirnya melahirkan generasi kebencian. Di daerah konflik, generasi muda menyimpan memori jangka panjang karena mereka melihat sendiri proses penganiayaan yang terjadi pada keluarga mereka.”

Menurutnya, pemangku kebijakan perlu melibatkan gereja untuk meredam gejolak di Bumi Cenderawasih. Sebab gereja merupakan lembaga yang masih dipercaya oleh masyarakat Papua itu sendiri sebagai mediator. Terlebih wilayah konflik di daerah pegunungan merupakan wilayah gereja.

Dalam acara yang dihadiri mahasiswa dan orang muda dari berbagai penjuru Indonesia ini, Suka Pandia dari Peace Generation mengingatkan bahwa kekerasan sejatinya lahir dari prasangka. Jika prasangka ini kemudian dibalut dengan kebencian dan fanatisme, maka akan menimbulkan perpecahan.

Lian memperkuat argumen Suka dengan menggambarkan bahwa gesekan-gesekan yang terjadi di Poso beberapa tahun silam bukan karena masyarakat itu sendiri, tapi karena rumor-romor yang beredar.

Maka dari itu, berpikir kritis dan berdamai dengan diri sendiri merupakan langkah awal yang penting dilakukan tiap individu untuk menciptakan perdamaian.

“Kita mau berdamai dengan orang lain bagaimana, kalau hati kita sendiri tidak damai? Kalau hati kita penuh dengan permusuhan, sampai nanti pun tidak akan bisa terwujud perdamaian”, tutup Pdt. Ronald.***

Baca Juga: Ramadhan Berkah, Resep Es Teler Hidangan Nikmat Untuk Burbuka Puasa

Editor: R. Adi Surya

Tags

Terkini

Terpopuler