Ramadhan Berkah, Kultum Sebelum Berbuka Puasa 'Dakwah Warung Kopi Cegah Radikalisme'

16 Maret 2023, 21:00 WIB
Ramadhan Berkah, Kultum Sebelum Berbuka Puasa 'Dakwah Warung Kopi Cegah Radikalisme' /tangkap layar YouTube/@Doni Studio

Pedoman Tangerang - Ramadhan berkah, berikut ini adalah kultum (kuliah tujuh menit) yang berjudul "Dakwah Warung Kopi Cegah Radikalisme" simak selengkapnya.

Silakan simak kultum (kuliah tujuh menit) ini hingga selesai ya.

Radikalisme masih menjadi masalah serius dan sensitif yang hingga saat ini menghantui kehidupan rakyat Indonesia.

Secara umum radikalisme dapat didefinisikan sebagai suatu paham yang menginginkan adanya perubahan sosio-politik secara drastis, sekalipun perubahan tersebut dilakukan melalui kekerasan.

Radikalisme paling tidak memiliki tiga dimensi dasar: pertama, adanya anggapan seseorang atau sekelompok orang bahwa paham yang dianut adalah yang paling benar; kedua, adanya pemikiran bahwa kekerasan merupakan cara yang legal untuk mengubah keadaan menjadi seperti yang diinginkan; dan ketiga, adanya usaha aktif untuk melakukan perubahan secara drastis di dalam tatanan masyarakat.

Pada realitanya isu radikalisme sering berkelindan dengan agama.

Hal ini terjadi karena banyak sekali pelaku radikalisme yang mengggunakan atribut dan jargon keagamaan dalam aksi brutalnya.

Akibatnya radikalisme memunculkan kesankesan negatif dan mendiskreditkan agama tertentu.

Harus diakui pula bahwa agama yang paling sering menjadi sorotan terkait isu radikalisme di Indonesia adalah Islam yang notabene agama mayoritas.

Beberapa ormas dengan atribut Islam dipandang kerap menggunakan kekerasan untuk mengaktualisasikan secara paksa paham keagamaan yang dianutnya kepada orang lain yang memiliki perbedaan paham.

Stigma kekerasan yang dilekatkan pada beberapa ormas beratribut Islam menciptakan asumsi pada sebagian orang bahwa radikalisme memiliki keterkaitan langsung dengan Islam, yang selanjutnya memunculkan istilah Islam radikal.

Melalui tulisan ini penulis merasa perlu mengklarifikasi penggunaan istilah Islam radikal.

Dalam pemaknaan penulis, istilah Islam radikal kurang tepat digunakan.

Karena pada esensinya Islam diturunkan ke dunia sebagai rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. alAnbiya ayat 107 yang artinya: ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

Penulis berpandangan bahwa pemilihan istilah yang lebih tepat adalah Muslim radikal.

Alasannya adalah karena penekanan kata radikal bukan pada Islam sebagai agama, melainkan pada Muslim sebagai individu maupun sebagai kelompok yang menjalankan ajaran Islam dengan berbagai perspektif dan cara.

Perspektif dan cara yang berbeda-beda tersebutlah yang dalam dinamikanya dijalankan secara radikal hingga memicu munculnya suatu konflik sosial di masyarakat.

Hal ini juga karena radikalisme sangat kontradiktif dengan proses masuknya Islam di Nusantara yang berinteraksi melalui cara-cara damai dan kreatif, bukan dengan kekerasan.

Sebagaimana istilah Sunan Kalijaga dalam suluk lokajaya, “anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli” (menyesuaikan diri seperti aliran air, menghanyutkan diri tetapi tidak terbawa hanyut).

Dalam menjalankan aksinya, mereka kerap mengatasnamakan dakwah.

Padahal dakwah pada dasarnya adalah gerakan mengajak pada perbuatan yang baik dan mencegah perbuatan munkar (amar ma’ruf nahi munkar).

Namun yang menjadi permasalahan adalah tidak semua orang mampu memahami dakwah secara kontekstual.

Akibatnya masih sering kita jumpai orang yang salah dalam mengartikan dakwah, terlebih dalam mengaplikasikannya.

Dimana biasanya mereka bertindak dengan mengatasnamakan dakwah, namun tindakan mereka justru kontra produktif terhadap nilai-nilai mulia dalam dakwah.

Padahal Allah telah menegaskan melalui Al-Qur’an yang artinya “serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.

Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk” (QS. an-Nahl: 125).

Bertolak dari ayat yang mengajarkan kelemahlembutan tersebut, sangat disayangkan bahwa dewasa ini aktivitas radikalisme bahkan terorisme dilakukan dengan menjual nama Islam sebagai jubah pembenaran.

Berpijak pada kondisi tersebut, kiranya perlu dilakukan rekayasa sosial mulai dari hal yang paling sederhana.

Salah satu jalan sederhana namun dapat berdampak luas adalah menyebarkan paham Islam yang rahmatan lil ‘alamin melalui forum-forum informal.

Ambillah contoh forum informal tersebut adalah seperti warung kopi.

Mengapa dakwah warung kopi? Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat Indonesia terutama pemudanya gemar nongkrong berjam-jam di warung kopi, dimana pembicaraan paling dominan di dalamnya tidak akan jauh dari isu politik, olahraga, dan agama.

Sehingga warung kopi menjadi tempat yang sangat potensial untuk berdakwah.

Lalu mengapa fokus pada pemuda?

Karena berbagai kasus membuktikan bahwa penyebaran paham-paham radikal banyak menjadikan pemuda sebagai sasaran.

Hal ini karena pemuda adalah manusia yang membutuhkan aktualisasi diri, memiliki energi berlebih, namun belum memiliki kematangan emosi sehingga masih mudah diombang-ambingkan.

Konsep dakwah warung kopi ini membuktikan bahwa dakwah tidak harus selalu dilakukan secara formal di atas mimbar, menggunakan gamis, surban, ataupun membawa tasbih kemana-mana.

Namun dakwah juga bisa dilakukan dengan kaos oblong, jeans, atau pakaian casual namun tetap sopan lainnya untuk lebih membaur dengan generasi muda dan masyarakat umum.

Forum informal seperti warung kopi dapat menjadi momentum santai untuk berdiskusi seputar agama dengan menjadikan pemikiran moderat sebagai platformnya.

Dengan pendekatan dakwah yang lebih casual, santai, dan membaur maka pemikiran-pemikiran moderat yang anti radikalisme akan lebih mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat khusunya para pemuda.

Pada akhirnya, harapan terbesar yang dapat dipetik dari upaya ini adalah munculnya kesadaran sejak dini dari para pemuda calon penerus dan pemimpin bangsa bahwa Islam adalah agama yang cinta damai, sehingga dari mereka tingkat radikalisme di negeri ini dapat diminimalisasi.

Demikianlah bacaan kultum (kuliah tujuh menit) yang berjudul Dakwah Warung Kopi Cegah Radikalisme" dibuat oleh Bayu Mitra A. Kusuma, jangan lupa share ya.***

Editor: Bustamil Arifin

Tags

Terkini

Terpopuler