Masih Banyak PR, Perhimpunan Guru Nilai Negara Gagal Benahi Kualitas Pendidikan

- 2 Mei 2021, 16:10 WIB
Koordinator P2G Satriwan Salim dan Mendikbud Nadiem
Koordinator P2G Satriwan Salim dan Mendikbud Nadiem /Rahman Sugidiyanto/Arahkata.com

Begitu pula dalam rencana "Penyederhanaan Kurikulum 2021", juga melibatkan orang-orang dalam lingkaran jaringan sekolah swasta ini, bahkan menjadi tim inti. Keberadaan mereka justru mengganggu peran, kinerja, dan eksistensi struktur birokrasi internal dalam tubuh Kemendikbud sendiri.

Jadi patut diduga kuat, ada dominasi dan monopoli lingkaran jaringan satu lembaga swasta (eksternal) tertentu yang menguasai Kemendikbud dan Mendikbud saat ini. Tentu ini kontradiktif dengan semangat gotong-royong pendidikan dan semangat bergerak bersama yang selalu digelorakan Mas Nadiem.

"Monopoli segelintir orang, kelompok, atau jaringan intelektual untuk mendominasi kebijakan pendidikan nasional yang tidak merepresentasikan keragaman bangsa dan bias kelas sosial, tidak hanya merugikan guru namun juga merugikan peserta didik, orang tua, masyarakat, dan cita-cita pendiri bangsa yang ingin mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia," ungkap Iman, yang merupakan guru Sejarah di SMA Al-Azhar Jakarta.

Lantas pertanyaan pokoknya, Merdeka Belajar itu Merdeka dari apa dan Merdeka untuk apa? Ini mesti dijawab secara tuntas oleh Kemendikbud.

Kedua, frasa "mewujudkan merdeka belajar". Merdeka Belajar sejak lahir sudah mengandung polemik, ketika istilah Merdeka Belajar diklaim sebagai merek dagang oleh sebuah PT sekolah swasta. Meskipun setelah diprotes habis-habisan oleh pegiat pendidikan, akhirnya dihibahkan kepada negara.

Episode Merdeka Belajar yang sudah mencapai Episode 10 terkesan parsial, walaupun ada beberapa program yang patut diapresiasi seperti penghapusan Ujian Nasional, relaksasi & realokasi Dana BOS, dan Beasiswa LPDP yang diperluas untuk siswa dan guru. Merdeka Belajar belum menyentuh persoalan ril sekolah, guru, dan kualitas pendidikan secara umum.

Masalah ril pendidikan nasional menurut Anggi Afriansyah, Dewan Pakar P2G yaitu:
Data menunjukkan, lebih dari 70 persen ruang kelas pada setiap jenjang pendidikan kondisinya rusak ringan/sedang maupun rusak berat (BPS, 2020). Data BPS selanjutnya menujukkan 20,10 persen sekolah pada jenjang pendidikan SD tidak memiliki sumber air layak atau tidak memiliki sumber air.

Selain itu, tidak sampai 80 persen sekolah di setiap jenjang pendidikan memiliki toilet yang terpisah antara siswa laki-laki dan perempuan. Lalu 74,18 persen sekolah SMP tidak memiliki akses terhadap tempat cuci tangan. Kesenjangan Angka Partisipasi Murni (APM) antara daerah perkotaan dan pedesaan juga masih besar, makin tinggi jenjang pendidikan makin tinggi pula kesenjangannya (BPS, 2020).

"Begitu pula dengan Rata-rata Lama Sekolah (RLS), masih di angka 8,90 tahun. Artinya rata-rata anak Indonesia bersekolah hanya sampai Kelas 9 SMP. Tampak pula ketimpangan RLS di pedesaan yang hanya mencapai 7,66 tahun (BPS, 2020).

Kemudian Bank Dunia (2020) menyebutkan, tingkat pengetahuan guru Indonesia di bidang: Matematika dan Bahasa Indonesia adalah rendah, masih di bawah standar minimum. Sedangkan untuk bidang: Pedagogis justru skornya sangat redah, lebih parah dari Matematika dan Bahasa Indonesia," demikian tutur Anggi Afriansyah.

Halaman:

Editor: Rahman Sugidiyanto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x