Ini Asal Usul Yang Sebenarnya Mengenai Bulan Suro

29 Juli 2022, 09:30 WIB
Malam Satu Suro, tradisi Kirab Kebo Bule Kyai Slamet untuk tolak bala /Tangkapan layar Instagram/ @yudakaringga

Pedoman Tangerang - Salah satu hari yang terkenal sebagai keramat oleh masyarakat Indonesia adalah hari suro atau satu suro.

Kata suro mengacu pada nama kalender Jawa atau kalender saka.

Satu Suro, tercatat sebagai awal bulan pertama Tahun Baru Jawa, bertepatan dengan 1 Muharam yang merupakan bulan dalam kalender Islam.

Banyak orang menganggap bahwa Satu Suro adalah malam yang angker penuh nuansa mistis dan horor.

Ditambah lagi beberapa nomenklatur baik novel dan film yang menceritakan Malam Satu Suro erat kaitannya dengan para hantu, dedemit, setan dan dayang-dayang jahat.

Dalam pewayangan Jawa, kata Suro atau Sura juga dilekatkan pada sosok raksasa yang digambarkan sebagai tokoh jahat.

Bakasura, Mahesasura, Lembu Sura, Jatah Sura dan lain sebagainya. 

Penamaan Sura atau Suro pada tokoh Buta (raksasa) inilah yang memunculkan persepsi publik bahwa malam Satu Suro adalah malamnya hantu dan dedemit.

Sehingga dibeberapa wilayah, banyak ritual tolak bala yang ditujukan agar Tuhan menjauhkan segala musibah dan bencana.

Di Solo, misalnya perayaan malam satu Suro terdapat hewan khas yang disebut kebo (kerbau) bule yang bernama Kyai Slamet.

Kebo bule menjadi salah satu daya tarik bagi warga yang menyaksikan perayaan malam satu Suro dan konon dianggap keramat oleh masyarakat setempat.

Kebo Bule Kyai Slamet. Bukan sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton. 

Sedangkan di Yogyakarta, Perayaan tradisi peringatan malam satu Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan.

Karenanya, pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya.

Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya.

Disepanjang bulan Suro, masyarakat Jawa dilarang untuk gembira, mengadakan pesta pora, menikahkan sanak famili, dan berpuasa dari kata-kata (tanpa bisu).

Tradisi yang menggambarkan kesuraman inilah yang menambah suasana di malam Suro menjadi 'mengidik'.

Sura dalam Perspektif Sejarah Islam

Menurut Penuturan Gus Muwafiq dalam ceramahnya di kanal YouTube Gus Muwafiq Channel, bahwa penamaan bulan Sura atau Suro adalah murni dari umat Islam.

Banyak orang yang salah sangka bahwa ritual atau tradisi Satu Suro adalah perilaku syirik, padahal faktanya tidak begitu.

Tradisi 'Suroan' justru sebagai peringatan agar umat Islam semakin taat pada Allah dan mencintai Rasulullah dan keluarga sucinya.

Istilah "Suro" merupakan istilah yang diambil dalam kalender Islam, tepatnya hari kesepuluh di bulan Muharram, Asyura.

Asyura atau hari kesepuluh Muharram adalah hari duka karena Cucunda Rasulullah Muhammad Saw. Sayyidina Husein bin Ali ra dan keluarganya dibantai secara kejam.

Dikisahkan bahwa Sayyidina Husein, Cucunda Kanjeng Nabi Muhammad Saw menentang penguasa zalim Yazid bin Muawiyah yang dinobatkan sebagai Khalifah.

Pertentangan ini terjadi karena Yazid secara sepihak mengumumkan dirinya sebagai raja, padahal menurut aturan Islam, seorang Khalifah harus dipilih melalui musyawarah dan mendapat bai'at.

Sayyidina Husein yang menolak bai'at pada Yazid kemudian dibantai bersama dengan keluarga dan pengikutnya di Padang Karbala, dekat Sungai Eufrat, Irak.

Selain dibunuh, jenazah Cucunda Nabi juga dimutilasi dan kepalanya dibawa ke Damaskus untuk diserahkan kepada Yazid bin Muawiyah.

Karena tragedi di Padang Karbala itulah yang akhirnya membuat umat Muslim di seluruh dunia berduka di hari Asyura.

Karbala sendiri adalah akronim dari kata 'karbun' (duka cita) dan 'bala' (musibah).

Pembantaian ini membuat anak-anak Ahlulbait Nabi dan pengikutnya menjadi yatim piatu. Oleh sebab itu juga hari Asyura dipandang sebagai 'Lebaran Anak Yatim' sebab mereka kehilangan ayahnya karena dibantai di Padang Karbala.

Jadi Asal usul dari Bulan Suro sebagai bulan duka dan musibah, masih erat kaitannya dengan tradisi dan sejarah umat Islam di masa lalu.

Kembali kepada Bulan Suro, istilah Suro pertama kali muncul di kalender Jawa atas prakarsa Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Raja Mataram tersebut menerbitkan kalender Jawa yang mengacu penanggalan Hijriyah (Islam).

Begitulah asal usul istilah Bulan Suro. 

Di sejumlah daerah di Pulau Jawa, Masyarakat Jawa masih tetap dijalani dengan laku atau lampah bathin dan prihatin.***

Editor: R. Adi Surya

Tags

Terkini

Terpopuler