Amandemen UUD 1945 , Pengamat: Demokrasi di Tangan Rakyat Bukan Elit

- 27 Maret 2022, 16:30 WIB
Ilustrasi amandemen - Rencana untuk amandemen UUD 1945 terus mendapat penolaka. Kata-kata Jokowi juga diragukan soal sikapnya.
Ilustrasi amandemen - Rencana untuk amandemen UUD 1945 terus mendapat penolaka. Kata-kata Jokowi juga diragukan soal sikapnya. /Pixabay/geralt/

Pedoman Tangerang – Wacana Amandemen Kelima terhadap Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) kembali bergulir setelah tiga orang ketua umum partai politik mengusulkan untuk melakukan penundaan pemilihan umum (pemilu) dan perpanjangan masa jabatan presiden.

Agar tujuan tersebut dapat tercapai, maka amandemen terhadap konstitusi menjadi sebuah keharusan. Namun, ketika hal tersebut terus dipaksakan, maka akan sulit untuk menyebut Indonesia sebagai sebuah negara yang demokratis.

Hemi Lavour Febrinandez, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), menjelaskan bahwa rencana untuk melakukan amandemen konstitusi telah tampak sejak penyampaian rekomendasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2014-2019 kepada MPR periode berikutnya pada 18 Agustus 2019.

Salah satu materi yang diusulkan untuk diamandemen ialah menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Rencana ini akhirnya ditindaklanjuti oleh MPR periode 2019-2024 dengan melakukan kajian terhadap GBHN yang berganti nama menjadi Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN).

“Namun, jika diperhatikan dengan seksama, wacana untuk menghidupkan kembali GBHN dengan mengganti bajunya menjadi PPHN selalu bergulir beriringan dengan keinginan untuk mengutak-atik masa jabatan presiden yang terdapat dalam kontitusi.” ungkap Hemi.

Lebih lanjut, Hemi menjelaskan bahwa setelah rencana untuk menghadirkan PPHN tidak lagi santer terdengar sebagai salah satu substansi yang akan diamandemen dari UUD 1945, dorongannya malah mengerucut pada penambahan masa jabatan presiden dan upaya untuk melakukan penundaan pemilu. Padahal, pembatasan masa jabatan presiden merupakan salah satu subtansi pokok pada Amandemen Pertama UUD 1945 pada 21 Oktober 1999.

Upaya penambahan masa jabatan ini dikhawatirkan akan berpengaruh pada kualitas demokrasi di Indonesia.

“Pembatasan masa jabatan presiden muncul karena pemerintahan otoritarian pada masa Orde Baru yang tidak mengenal pembatasan tersebut. Presiden Soeharto dapat dipilih berkali-kali oleh MPR hingga dia dapat berkuasa hingga tiga puluh dua tahun,” jelas Hemi.

Hemi juga menegaskan bahwa penyelenggaraan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali merupakan amanat dari konstitusi. “Hal yang patut untuk disayangkan ketika salah seorang Menteri mempertanyakan alasan mengapa Presiden Jokowi harus turun. Padahal, jelas alasannya adalah konstitusi dan KPU selaku panitia telah menetapkan jadwal untuk melakukan pemungutan suara pada tahun 2024,” tegas Hemi.

Halaman:

Editor: R. Adi Surya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x