Kenaikan Pajak PPN Bikin Industri Ritel Terpukul, Roy: Padahal Kami Berjuang Tekan Inflasi

13 Mei 2024, 23:46 WIB
Dialog evaluasi oleh Danang Girindrawardana dan Roy Nicholas Manday /

Pedoman Tangerang - Keputusan pemerintah untuk menaikan pajak pertambahan nilai atau PPN sebesar 12% dikeluhkan oleh pengusaha ritel.

Dalam podcast Evaluasi yang tayang di Krapu TV, Danang Girindrawardana bersama Roy Nicholas Mandey sebagai pelaku bisnis ritel mengkritik kenaikan tarif pajak dari 11% menjadi 12% di tahun 2025 mendatang.

Selain berdampak kepada iklim usaha, kenaikan PPN pasti membuat harga-harga naik yang imbasnya terjadi penurunan daya beli masyarakat.

"Pajak naik otomatis akan ada pengurangan daya beli. Sebab ketika harga naik tapi tidak diikuti dengan pendapatan, otomatis masyarakat akan menahan belanja dan ini berimbas juga ke pendapatan pajak negara," ucap Roy pada Danang, dikutip Pedoman Tangerang dari Krapu TV pada Senin, 13 Mei 2024.

Roy juga menjelaskan pada Danang bahwa Selain itu,kebijakan tersebut tidak terlalu tepat, apalagi keadaan ekonomi global yang lesu berimbas pada inflasi di dalam negeri.

Harga nilai tukar rupiah atas dolar yang saat ini masih melemah, sedangkan harga pangan masih tinggi, ditakutkan kenaikan pajak akan berdampak buruk pada kondisi makro ekonomi.

Roy juga menjelaskan bahwa industri ritel selama ini berperan besar dalam menjaga kestabilan harga dan laju inflasi.

Ia memberi contoh, ketika bahan pangan di pasar tradisional harganya fluktuatif, ritel mampu menawarkan harga yang lebih stabil sesuai dengan arahan pemerintah.

"Contohnya gula yang akan naik di akhir bulan ini, harga acuan HET-nya sekitar Rp17.500 nah, kita (ritel) yang menjaga harga acuan ini kan," kata Roy.

"Ketika harga gula diluar sana mulai bergejolak bisa sampai Rp18.000 hingga Rp19.000 per kilo, ritel akan tetap menjual sesuai harga acuan. Dan tentu masyarakat akan membeli gula yang harganya lebih murah sehingga tidak ada pemain diluar sana yang memainkan harga," tambahnya.

Namun cukup disayangkan tampaknya pemerintah tampak abai dengan jasa pelaku usaha ritel ini.

Alih-alih memberi keleluasan pajak dan relaksasi kepada pelaku usaha dalam negeri. Pemerintah justru tampak tutup mata dengan keberadaan jastip dan thrifting yang tidak dikenakan pajak impor secara semestinya dan nyata menganggu usaha lokal.

"Misalnya thrifting, baju branded lokal maupun luar yang harga normalnya Rp100-200 ribu di thrifting bisa dibanting harga lebih dari setengahnya," kata Roy.

Ia mengaku takjub, harusnya pelaku usaha thrifting dan jastip juga dikenakan kebijakan yang sama, bukan malah pajak dan regulasi dibebankan ke pengusaha nasional saja.

Padahal thrifting ini selain merusak harga pasar juga merugikan brand pakaian dalam negeri.

Ini yang disesalkan Roy; pemerintah dianggap tebang pilih dan tidak tepat sasaran dalam membuat kebijakan.

"Apa yang harusnya tidak perlu diatur, malah diatur, sedangkan yang mustinya diatur tapi malah tidak ada regulasinya," ucap Roy.

Di sisi lain Roy juga prihatin dengan sikap pemerintah yang tidak mengikutsertakan pelaku usaha dalam penentuan kebijakan.

"Ketika sudah ada korban, ketika banyak yang bangkrut, pemerintah seperti pemadam kebakaran, terlambat," sindirnya.

Sebagai lembaga yang menentukan keputusan negara, sudah seharusnya pemerintah mengambil berbagai pandangan dari beberapa kelompok sebelum kebijakan dibuat.

Seolah menjadi kebiasaan, pemerintah  baru "sadar" ketika dampak destruktif dari kebijakannya mulai dirasakan rakyat.

Roy berharap agar sebagai regulator atau pemangku kebijakan, pemerintah bisa melihat secara objektif dan konsisten.

Kebijakan tebang pilih yang merugikan satu pihak justru dikhawatirkan membawa dampak buruk pada perekonomian nasional***




Editor: R. Adi Surya

Tags

Terkini

Terpopuler